Rabu, 27 Juli 2011

artikel 6 (perpolisian masy wujud good governance)

Perpolisian Masyarakat Wujud Implementasi Good Governance
Oleh
Pranatal Hutajulu
(Kasat Lantas Polresta Malang)



Birokrasi timbul sebagai salah satu konsekuensi dari perkembangan peradaban manusia yang mulai mengenal tatanan kehidupan berorganisasi. Ketika berkembang organisasi modern seperti negara, partai politik, kelompok agama, kelompok ekonomi, kelompok kepentingan,dan lain-lain maka dimulailah proses birokrasi tersebut. Menurut Max Weber, birokrasi mensyaratkan dipunyainya kekuasaan, maka birokratisasi selalu diikuti dengan bertambah-luasnya kekuasaan para pejabat  Karena prasyarat tersebut, dalam perkembangannya birokrasi dirasa menjadi kurang efektif dan efisien karena masyarakat hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah. Masyarakat hanya mempunyai peranan yang kecil bahkan tidak ada dalam penentuan kebijakan publik. Akibatnya banyak kebijakan publik yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karl Marx, bahkan seratusan tahun sebelumnya telah mengemukakan pendapat ekstrim yang mengatakan bahwa birokrasi adalah alat dari kelas/kelompok masyarakat berkuasa untuk membelenggu kebebasan rakyat. Ketidakmampuan administrasi birokratik dalam menangani berbagai problema masyarakat mendasari H.George Fredericson (1980) merumuskan konsep good governance yang menjelaskan bahwa system adminstrasi negara modern dalam paradigma governance ditandai dengan adanya jaringan kerja (kemitraan) baik vertikal maupun horizontal diantara berbagai elemen masyarakat. Elemen masyarakat tersebut saling mengontrol (chek and balances), memiliki ekses yang kurang lebih sebanding, kemudian membangun suatu kolaborasi untuk terciptanya tertib sosial dalam mengatasi berbagai persoalan publik. Konsep good governance berhasil mengoptimalkan kinerja pemerintah karena adanya pembagian peran dengan masyarakat, elemen masyarakat itu sendiri ikut bekerja untuk menyelesaikan masalah publik. Berbagai negara maju mulai meninggalkan konsep administrasi birokratik dan mulai berpaling kepada penerapan good governance.
Polisi sebagai elemen aparatur pemerintahan yang banyak menangani berbagai persoalan publik dituntut pula untuk dapat melakukan sharing-position dengan masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya. Kemudian dirumuskanlah konsep community policing oleh Robert R Friedmann (1998). Menurut Friedman sebuah kebijaksanaan dan strategi yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang lebih efektif dan efisien dalam mengendalikan kejahatan, mengurangi rasa takut atas ancaman kejahatan (fear of crime), memperbaiki kualitas kesejahteraan hidup, meningkatkan perbaikan pelayanan polisi dan legitimasi melalui kemandirian proaktif berlandaskan pada sumber daya komunitas masyarakat yang mencari upaya untuk merubah kondisi-kondisi yang menyebabkan adanya kejahatan. Community policing mengakui adanya sebuah kebutuhan untuk akuntabilitas dari polisi, peran serta yang lebih besar dari publik dalam pengambilan keputusan dan kepedulian yang lebih besar terhadap hak-hak sipil dan kebebasan.
Keberhasilan konsep community policing yang diterapkan berbagai Departemen Kepolisian Negara Bagian Amerika Serikat dan Kepolisian Nasional Jepang mendorong Kepolisian Republik Indonesia untuk mengadopsi konsep tersebut yang disesuaikan dengan situasi-kondisi masyarakat dan budaya di negeri ini. Proses adopsi tersebut menghasilkan perumusan model perpolisian masyarakat (polmas) dalam penyelenggaraan tugas Polri. Polmas merupakan model perpolisian yang menekankan adanya kemitraan yang sejajar antara petugas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang dapat mengancam kamtibmas. Tujuannya adalah mengurangi kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat. Petugas polmas adalah anggota Polri yang berpangkat Bintara atau Perwira yang disiapkan secara khusus dan ditugaskan di tiap kelurahan/desa atau suatu kawasan tertentu untuk menyelenggarakan perpolisian masyarakat, membangun komunitas yang dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam meniadakan gangguan keamanan dan ketertiban, menciptakan ketentraman, serta mendukung terwujudnya kualitas hidup masyarakat.
Pengalaman penulis bertugas di daerah konflik, Poso Sulawesi Tengah, memberikan pelajaran penting bahwa konsep pendekatan dengan membangun kesetaraan posisi antara polisi dan masyarakat sangat membantu memulihkan trauma masyarakat akibat konflik berkepanjangan. Pasca tertangkapnya berbagai aktor utama dalam berbagai aksi teror di Poso dan Palu, Februari 2007, Polri langsung mengubah manuver kebijakan dari operasi penegakan hukum menjadi operasi pemulihan kondisi masyarakat yang salah satunya ditempuh melalui pemberdayaan petugas polmas sebagai garda terdepan penanganan berbagai masalah yang timbul pasca konflik. Petugas polmas ditempatkan di setiap desa di wilayah Kabupaten Poso, tinggal dan beraktivitas melekat di wilayah desa tersebut. Ikut membangun rumah warga yang hancur terbakar akibat konflik, memfasilitasi rekonsiliasi antara masyarakat muslim dan kristen yang selama bertahun tahun bertikai, mendengar berbagi keluh kesah masyarakat dan berusaha mencari solusinya. Hasilnya cukup signifikan, kepercayaan masyarakat akan rasa aman mulai tumbuh, aktivitas ekonomi mulai menggeliat, orang dapat melaksanakan ibadah tanpa dihantui rasa takut. Konsep polmas selain terbukti bisa diterapkan di daerah konflik, efektif pula dalam memangkas birokrasi pelayanan publik oleh Polri. Beberapa inovasi seperti pelayanan SIM dengan mobil Keliling, Pelayanan SIM Corner di Tunjungan Plaza Surabaya,  SAMSAT Drive thrue (membayar pajak dari tanpa turun dari kendaraan) dan yang sedang dalam persiapan adalah SAMSAT Corner (pelayanan pajak kendaraan bermotor di Mal Olympic Garden, Malang) sejatinya terinspirasi dari konsep ini. Pada masa lalu dimana pelayanan publik yang identik dengan proses yang lama, antrian yang panjang, tempat yang jauh dari nyaman, mencerminkan institusi Polri sebagai pemilik absolut otoritas dan masyarakat sebagai pihak membutuhkan. Seiring niat ingin membangun kesetaraan posisi dalam rangka mengimplementasikan konsep community policing maka dilakukan perbaikan serta  peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Tahap proses disederhanakan, kenyamanan ditingkatkan, jarak unit pelayanan didekatkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar