Rabu, 27 Juli 2011

artikel 3 (kecerdasan emosi di jalan raya)

KECERDASAN EMOSI DI JALAN RAYA
Oleh
Pranatal Hutajulu
Praktisi dan pemerhati masalah lalu-lintas Surabaya

            Sungguh mengerikan bila kita data kecelakaan lalu-lintas Satuan Lalu-lintas Polwiltabes Surabaya yang dilansir media Jawa Pos  pada hari Jumat tanggal 31 Agustus 2007 yang menunjukan bahwa sepanjang Januari sampai Agustus 2007 telah terjadi 505 kasus dengan jumlah korban meninggal dunia 145 orang, 54 luka berat dan 441 luka ringan.  Tanpa didasari jalan raya telah berubah wujud menjadi monster pembunuh yang telah banyak memakan korban. Dan ketika kita melakukan evaluasi faktor penyebabnya maka alasan human error (kesalahan manusia) kembali menjadi faktor dominan (454 kasus atau 89,9%). Seperti tulisan saya sebelumnya menjelaskan bahwa pada faktor manusia terdapat 2 (dua) aspek penyangganya. Pertama adalah aspek intelektual, kedua aspek kepribadian. Aspek Intelektual meliputi pengetahuan tentang rambu, marka, peraturan lalu-lintas dan ketrampilan mengemudi/mengendarai kendaraan. Untuk aspek pertama ini terkait erat dengan kecerdasan intelektual atau intelligence quotient (IQ) seseorang. Aspek kepribadian  meliputi sikap mental berprilaku di jalan raya, kesadaran untuk disiplin mematuhi peraturan dan komitmen terhadap keselamatan. Untuk aspek kedua ini erat dengan kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ) seseorang. Tingginya angka kecelakaan lalu-lintas saat ini menurut pendapat saya disebabkan karena pengguna kendaraan bermotor hanya mengedepankan kemampuan IQ  dan mengesampingkan kemampuan EQ-nya di jalan raya. Robert Stenberg, seorang ahli dalam bidang succesful intelligence mengatakan bahwa bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa maka kita telah memilih penguasa yang buruk.   Seorang pengendara yang mempunyai pengetahuan tentang  rambu-rambu dan mengerti akan peraturan lalu-lintas tidak menjamin bahwa dia telah safety riding, bila tidak ditunjang dengan disiplin untuk mematuhi rambu dan peraturan tersebut. Akibatnya adalah terjadi pelanggaran lalu-lintas yang merupakan cikal bakal dari kecelakaan lalu-lintas yang berdampak mengerikan tadi. Contohnya, seorang pengendara paham betul bahwa dilarang keras menyerobot traffic light tetapi dipaksakan untuk tetap melaju walaupun lampu menunjukkan warna merah. Pada saat ia memaksakan untuk melaju telah terjadi pelanggaran lalu-lintas dan akibat selanjutnya adalah sangat memungkinkan terjadi malapetaka yang bernama kecelakaan lalu-lintas. Untuk menghindari terjadinya kecelakaan di jalan raya kuncinya adalah memainkan peran  seimbang antara kemampuan IQ dan EQ seseorang dalam berkendara. Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya berjudul “Rahasia sukses membangun emotional spritual quotient (ESQ)” mengatakan bahwa telah terbukti secara ilmiah bahwa kecerdasan emosi memegang peranan penting dalam mencapai keberhasilan di segala bidang. Ary memasukkan “disiplin” sebagai salah satu unsur dalam senyawa kecerdasan emosional.
Responsible Riding
Di jalan raya tingkat kedisiplinan pengguna kendaraan bermotor berkorelasi terbalik dengan tingkat kecelakaan lalu-lintas. Bila tingkat disiplin tinggi maka angka kecelakaan lalu-lintas akan rendah, begitu pula sebaliknya. Untuk menggugah sikap mental disiplin pengendara dapat diawali dengan membangun rasa tanggung jawab pengendara terhadap keselamatan diri sendiri dan orang lain. Pihak kepolisian sebagai salah satu stake-holder dalam bidang lalu-lintas   menyadari hal tersebut dan bersama pihak  yang mempunyai perhatian besar terhadap masalah lalu-lintas yaitu Jawa Pos dan PT. NPM Honda Surabaya mencoba mencari formula yang ideal untuk merangsang tumbuhnya rasa tanggung jawab tersebut. Maka dirumuskan suatu program yang bernama responsible riding. Program ini merupakan kampanye simpatik yang bertujuan untuk mewujudkan keselamatan bagi pengguna kendaraan bermotor di jalan raya. Kenapa dikatakan simpatik? Karena kegiatan ini tidak hanya melakukan penegakan hukum terhadap pelanggar saja tetapi pemberian reward bagi pengendara yang telah mematuhi peraturan lalu-lintas. Hadiah-hadiah yang diberikan hanyalah stimulan saja tetapi esensinya adalah upaya persuasif edukatif kepada masyarakat untuk tertib berlalu-lintas. Kampanye ini dapat dimanfaatkan pula oleh masyarakat sebagai ajang untuk membangun kecerdasan emosional dalam berkendara. Tidak ada kata terlambat bagi siapapun untuk mulai menumbuhkan  kecerdasan emosionalnya di jalan raya. Pakar EQ Daniel Goleman berpendapat bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan kecerdasan intelektual. IQ umumnya  tidak berubah selama kita hidup. Sementara kemampuan yang murni kognitif cenderung tidak berubah (IQ), maka kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja dan dimana saja. Tidak peduli orang itu peka atau tidak, pintar atau tidak, pemalu, pemarah, atau sulit bergaul dengan orang lain sekalipun, dengan motivasi dan usaha yang benar kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi tersebut. Kecerdasan tersebut akan semakin mendekati sempurna bila kita menjadikan spiritual quotient (SQ) sebagai dasar bagi pilar IQ dan EQ berpijak. SQ di jalan raya tersebut dapat diwujudkan dengan selalu berdoa sebelum memulai perjalanan agar kita diberi keselamatan olehNya. Semoga disiplin berlalu-lintas dapat bertumbuhkembang pada perilaku seluruh masyarakat pengguna jalan di Surabaya, bukan karena adanya kampanye responsible riding saja tetapi berasal dari kesadaran dari setiap individu.  
(Artikel ini pernah dimuat di rubrik metropolis harian Jawapos)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar