Rabu, 17 Agustus 2011

Tol Tengah Kota Surabaya, Belajar dari Bangkok dan Jakarta


Oleh: Pranatal Hutajulu

(artikel ini dimuat di Jawapos ,Senin 15 Agustus 2011)

Polemik pembangunan tol tengah Surabaya belum mencapai titik temu. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tetap menolak tegas. Sebagai alternatif, Risma membangun jalur rute lingkar timur (middle east ring road/MERR) dan frontage road. Di sisi lain, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mendukung adanya tol di Kota Pahlawan. Untuk meminimalkan penggusuran, gubernur mengganti dengan nama tol Aloha menuju Perak melalui aliran Sungai Kalimas. Menurut Soekarwo, tol itu penting bagi masyarakat Jawa Timur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan Berbasis Masyarakat

Riant D. Nugroho dalam bukunya Analisis Kebijakan (Gramedia 2007) menyatakan, salah satu pendekatan untuk memberikan arah kebijakan ketika terjadi konflik dalam kebijakan publik adalah pendekatan demokratis, yaitu kebaikan bagi sebagian besar orang. Artinya, arah kebijakan yang disarankan atau direkomendasikan atau diputuskan adalah kebijakan yang bermanfaat bagi mayoritas publik daripada sebagian kecil publik.
Di atas kertas, kebijakan tersebut mudah diambil, tapi sangat sulit dilaksanakan. Sebab, pertama, adanya bias elite. Pengambil keputusan, bagaimanapun, adalah elite. Tidak sedikit kebijakan publik yang akhirnya menguntungkan kelompok elite daripada publik.
Kedua, ada bias teknokratis. Analis dan perumus kebijakan biasanya adalah para ilmuwan yang teknokrat. Mereka biasanya terkait secara politik dan ekonomi dengan elite politik. Tidak sedikit ilmuwan melakukan ’’penelitian di balik meja’’ atau melakukan pembuktian ilmiah di masyarakat dengan pendekatan positivistic, yaitu dengan ’’memaksakan’’ kebenaran teori di dunia akademis pada kenyataan di lapangan.
Terkait dengan solusi mengatasi kemacetan tersebut, sebaiknya pemerintah berani menggulirkan kebijakan yang bisa bermanfaat bagi mayoritas masyarakat sebagai wujud pendekatan demokratis dalam penerapan kebijakan publik. Salah satunya, revitalisasi sarana transportasi publik yang sudah ada di Kota Surabaya dan membangun sarana transportasi masal baru seperti kereta monorel atau kereta subway. Kebijakan itu telah terbukti secara empiris menjadi solusi untuk menekan kemacetan di Kota Bangkok atau kota besar negara tetangga lainnya seperti Kuala Lumpur dan Singapura.

Belajar dari Bangkok

Penulis pernah berkesempatan mengikuti pelatihan kedinasan di Bangkok selama hampir dua bulan. Di antara sekian banyak faktor yang menunjang keberhasilan Kota Bangkok menekan masalah kemacetan, yang paling menonjol, menurut pengamatan penulis, adalah keseriusan otoritas di sana untuk membangun jaringan jalan dan sarana transportasi umum.
Pemerintah Thailand melakukan terobosan berani di bidang pembangunan transportasi masal dengan memulai proyek BERT (Bangkok Elevated Road and Train System) yang dikenal dengan nama proyek ’’hopewell’’. Proyek itu merupakan pembangunan jalan tol layang dan pembangunan tiga jalur kereta monorel di dalam Kota Bangkok.
Proyek yang dimulai pada 1990 itu terhenti pada 1997 karena krisis moneter dan secara resmi dibatalkan pada 1998. Namun, pada 5 Desember 1999, bersamaan dengan ulang tahun Raja Thailand Bhumibol Adulyadej (Raja Rama IX), untuk kali pertama dioperasikan jalur kereta monorel dua jalur (sky train metro system) atau yang dikenal dengan proyek BTS (Bangkok Rapid Transit System).
Lalu, Juli 2004, mulai dioperasikan jalur kereta bawah tanah yang dikenal dengan MRT Subway. Jalur itu menghubungkan pusat kota dengan wilayah utara dan timur Kota Bangkok. Yang terbaru selesai dibangun adalah jalur kereta monorel cepat yang menghubungkan Airport Suvarnabhumi menuju pusat Kota Bangkok. Kereta monorel dengan nama Suvarnabhumi Airport Link itu mempunyai panjang jalur 28,5 km mulai City Air Terminal di Bandara Suvarnabhumi yang menghubungkan Stasiun MRT Subway di Petchaburi atau Stasiun BTS Phaya Thai.
Saat ini sedang dibangun lima penambahan jalur kereta monorel serta kereta bawah tanah (subway) dan sebelas jalur lainnya dalam tahap perencanaan. Adanya sarana dan prasarana transportasi, baik monorel maupun kereta bawah tanah, tersebut membuat masyarakat Bangkok mempunyai pilihan untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi ketika berangkat ke kantor atau beraktivitas harian sehingga kemacetan bisa direduksi.

Pengalaman Tol Tengah Jakarta
Pembangunan jalan tol tengah di Surabaya bisa dilaksanakan ketika sarana dan prasarana transportasi publik sudah terbangun dengan baik. Mengapa? Ketika kita memilih membangun jalan tol tengah kota yang tidak diimbangi pembangunan sarana transportasi publik yang mapan, kita memilih solusi yang bersifat sementara.
Lima sampai 10 tahun ke depan, seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan, kemacetan akan terjadi lagi memenuhi Kota Surabaya. Kita bisa belajar dari kasus Kota Jakarta yang memiliki jalan tol tengah kota. Tapi, saat ini kita lihat ’’jalan bebas hambatan’’ tersebut menjadi ’’jalan yang penuh hambatan’’.
Menurut penelitian guru besar Institut Teknologi Bandung Prof Ofyar Z. Tamin, kerugian lantaran pemborosan penggunaan bahan bakar karena kemacetan mencapai Rp 70 triliun–Rp 80 triliun setiap tahun. Karena itu, pemerintah harus mengeluarkan biaya besar untuk subsidi BBM.
Pembangunan transportasi publik yang cepat, aman, nyaman, serta murah menjadi alternatif yang menguntungkan bagi masyarakat dalam beraktivitas dari satu tempat ke tempat lainnya. Penulis sangat mendukung pertumbuhan sektor ekonomi di mana aktivitas perdagangan membutuhkan kelancaran dan efisiensi biaya di jalan raya. Semoga dalam waktu dekat lahir kebijakan di bidang transportasi publik yang berpihak kepada publik. Kita tunggu! (*)

Kasubbag Renmin Ditlantas Polda Jatim