Rabu, 27 Juli 2011

artikel 10 (belajar mereduksi kemacetan dari bangkok)

                                                                          
                      BELAJAR MEREDUKSI KEMACETAN DARI BANGKOK
oleh 
PRANATAL HUTAJULU
KASUBBAG RENMIN DITLANTAS POLDA JATIM

Kota Bangkok adalah ibukota Thailand, negeri yang berhasil mengembangkan agroindustri dan kita kenal melalui beberapa nama produksi buah-buahan yang diimpor ke Indonesia seperti Jambu Bangkok atau Durian Monthong. Beberapa bulan yang lalu penulis berkesempatan untuk mengikuti pelatihan kedinasan yang berlokasi di Bangkok selama hampir dua bulan. Kami menemukan suatu hal yang menarik bisa dipelajari dari negeri ini selain tentang argoindustri,  yaitu keberhasilan kota itu untuk mereduksi kemacetan lalu-lintas di jalan raya. Saya tertarik mengambil contoh kota ini sebagai komparasi karena secara umum situasi dan kondisi sosial serta pertumbuhan ekonomi tidak terlalu berbeda jauh dengan kota di Indonesia seperti Jakarta atau Surabaya. Walaupun jumlah populasi penduduk kota ini menembus angka 9,1 juta pada tahun 2010 (penduduk Jakarta 9,5 juta orang) tetapi kemacetan lalu lintas di jalan protokol kota ini terjadi hanya pada jam jam tertentu saja dan sebagian besar terjadi di kawasan pusat kota. Menurut data resmi dari Departemen Transportasi Darat Thailand,  jam padat lalu lintas kota Bangkok terjadi pada pagi hari mulai pk 07.00 -10.00 dan sore hari mulai pukul 16.00 - 19.00. Setelah rentang waktu tadi relatif tidak ada masalah kemacetan lalu lintas di sepanjang ruas-ruas jalan protokol kota Bangkok. Bandingkan dengan kemacetan di jalan-jalan kota Jakarta yang tidak mengenal waktu dan tempat, dari pagi sampai malam, di tengah kota juga di pinggiran kota. Dari sekian banyak faktor yang menunjang keberhasilan kota Bangkok menekan masalah kemacetan, faktornya yang paling menonjol menurut pengamatan penulis adalah keseriusan otoritas disana untuk membangun jaringan jalan dan sarana transportasi umum. Menurut beberapa rekan kami Polisi Thailand yang menjadi peserta pelatihan, sampai dengan era tahun 1990an kemacetan di Kota Bangkok sangat parah. Kemacetan menjadi masalah serius dan momok bagi masyarakat pengguna jalan raya. Merespon permasalahan tersebut maka Pemerintah Thailand melakukan suatu langkah terobosan berani di bidang pembangunan transportasi massal. Pada awal tahun 1990 pemerintah Thailand memulai proyek BERT (Bangkok Elevated Road and Train System) yang dikenal dengan nama proyek "hopewell". Proyek ini merupakan proyek pembangunan jalan tol layang dan pembangunan tiga jalur kereta monorel di dalam kota Bangkok. Proyek ini terhenti pada tahun 1997 karena krisis moneter yang melanda Thailand dan Asia dan secara resmi dibatalkan pada tahun 1998. Tidak ingin berlama-lama terkurung dalam keterpurukan pada tanggal 5 Desember 1999 bersamaan dengan ulang tahun Raja Thailand Bhumibol Adulyadec (Raja Rama IX) untuk pertama kalinya dioperasikan jalur kereta monorel dua jalur (skytrain metro system) atau dikenal dengan proyek BTS (Bangkok Rapid Transit System).      Pada bulan Juli 2004 mulai dioperasikan jalur kereta bawah tanah yang dikenal dengan MRT Subway yang jalurnya menghubungkan pusat kota dengan wilayah utara dan timur kota Bangkok. Yang terbaru selesai dibangun adalah jalur kereta monorel cepat yang menghubungkan Airport Suvarnabhumi menuju ke pusat kota Bangkok. Kereta monorel ini dikenal dengan nama Suvarnabhumi Airport Link dan mempunyai panjang jalur sekitar 28,5 KM mulai dari City Air Terminal di Bandara Suvarnabhumi menghubungkan Stasiun MRT Subway di Petchaburi atau Stasiun BTS Phaya Thai. Saat ini sedang dibangun 5 (lima) penambahan jalur kereta monorel dan kereta bawah tanah (Subway) dan 11 (sebelas) jalur lainnya dalam tahap perencanaan. Adanya sarana dan prasarana transportasi baik monorel maupun kereta bawah tanah tersebut menjadikan masyarakat Bangkok punya pilihan untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi ketika berangkat ke kantor atau melakukan aktivitas hariannya sehingga kemacetan dapat direduksi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Mempunyai sarana transportasi publik yang cepat, aman, nyaman dan murah masih merupakan impian bagi rakyat Indonesia. Lihat saja kota Jakarta yang merupakan ibukota negara dan kota terbesar di Indonesia sampai hari ini hanya mampu mengoperasionalkan kereta listrik permukaan (surface train) yang dikenal dengan KRL dan bus way sebagai sarana transportasi massa bagi warga Jakarta. Kedua sarana transportasi tersebut selain sudah ketinggalan jaman bila dibandingkan perkembangan  transportasi umum di dunia juga banyak menimbulkan masalah bagi masyarakat pengguna jalan raya lainnya. KRL merupakan kereta listrik permukaan yang berjalan di atas tanah dan banyak menimbulkan perlintasan sebidang dengan jalan raya. Akibatnya kemacetan lalu lintas tidak terelakkan lagi karena kendaraan bermotor yang berjalan di jalan raya harus mengalah ketika kereta listrik ini melintas. Proyek busway yang diharapkan mampu menjadi solusi transportasi umum yang representatif bagi warga dan dapat mengurangi masalah kemacetan malah membuat kemacetan semakin parah khususnya di jalur jalan yang menjadi koridor busway. Pembangunan proyek monorel yang dimulai tahun 2004 dan pada tahun 2007 terhenti pembangunannya dan saat ini menyisakan bangkai tiang beton monorel. Walau kabarnya Pemerintah Propinsi DKI Jakarta akan mengambil alih mega proyek ini dari PT.Monorel Jakarta tapi sampai saat ini belum terlihat keberlanjutan pembangunannya.  Rencana Pemerintah Propinsi DKI Jakarta yang akan membangun proyek Mass Rapid Transit (MRT) juga belum terlihat pelaksanaan phisiknya.  Sementara untuk kota Surabaya kita mendengar adanya rencana pembangunan proyek MRT jalur Stasiun Gubeng – Bandara Juanda yang informasinya akan dimulai pada tahun 2011 tetapi  yang lebih mengemuka saat ini adalah rencana pembangunan jalan tol tengah Kota Surabaya yang menjadi polemik dan konflik dalam kebijakan publik.
Kebijakan berbasis masyarakat
Menurut Riant D Nugroho dalam bukunya analisis kebijakan (Gramedia 2007) mengatakan bahwa salah satu pendekatan untuk memberikan arah kebijakan ketika terjadi konflik dalam kebijakan publik adalah pendekatan demokratis yaitu kebaikan bagi sebagian besar orang. Artinya arah kebijakan yang disarankan atau direkomendasikan atau diputuskan adalah kebijakan yang memberi manfaat bagi mayoritas publik daripada sebagian kecil publik. Diatas kertas kebijakan ini mudah diambil tetapi dalam pelaksanaan sangat sulit. Pertama, karena adanya bias elit. Pengambil keputusan bagaimanapun juga adalah elit. Dan tidak sedikit kebijakan publik pada akhirnya menguntungkan kelompok elit  dari pada publik itu sendiri. Kedua ada bias teknokratik. Analis dan perumus kebijakan biasanya adalah para ilmuwan yang teknokrat. Mereka biasanya terkait secara politik dan ekonomi  dengan elit politik. Tidak sedikit ilmuwan yang melakukan “penelitian di balik meja” atau melakukan pembuktian ilmiah di masyarakat dengan pendekatan positivistik yaitu dengan “memaksakan” kebenaran teori di dunia akademis pada kenyataan di lapangan. Terkait solusi mengatasi kemacetan ini sebaiknya pemerintah harus menggulirkan kebijakan yang bisa membawa manfaat bagi mayoritas masyarakat sebagai wujud pendekatan demokratis dalam penerapan kebijakan publik. Salah satunya dengan revitalisasi sarana transportasi publik yang sudah ada di Kota Surabaya dan membangun sarana transportasi massal baru seperti kereta monorel atau kereta subway yang telah terbukti secara empiris menjadi solusi menekan kemacetan di Kota Bangkok. Sebaiknya pemerintah daerah memikirkan kembali rencana pembangunan jalan tol tengah kota. Karena apa? Ketika kita memilih membangun jalan tol tengah kota yang tidak diimbangi oleh pembangunan sarana transportasi publik yang mapan maka kita memilih solusi yang bersifat sementara, lima sampai sepuluh tahun kedepan seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan maka kemacetan akan terjadi lagi memenuhi Kota Surabaya. Kita bisa belajar dari kasus Kota Jakarta yang memiliki jalan tol tengah kota tetapi saat ini kita lihat “jalan bebas hambatan” tersebut menjadi “jalan yang penuh hambatan”. Dengan membangun transportasi publik yang cepat ,aman, nyaman dan murah  maka menjadi alternatif menguntungkan bagi masyarakat dalam beraktivitas bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Pemborosan  penggunaan bahan bakar akibat kemacetan yang menurut penelitian Guru Besar Institut Tehnologi Bandung Prof Ofyar Z Tamin mencapai kerugian antara Rp.70 – 80 triliun setiap tahunnya dapat ditekan serendah mungkin.  Ini sangat mendukung pertumbuhan sektor ekonomi dimana aktivitas perdagangan membutuhkan kelancaran dan efisiensi biaya di jalan raya. Melepaskan kita dari ketergantungan penggunaan bensin ataupun solar yang mana harga minyak dunia sulit diprediksi sehingga pemerintah banyak mengeluarkan biaya untuk subsidi. Ini tentunya juga selaras dengan arah kebijakan Gubernur Jawa Timur yang pro poor (menerapkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin). Semoga dalam waktu dekat akan lahir kebijakan di bidang transportasi publik yang berpihak pada publik. Kita tunggu!

1 komentar: