Rabu, 27 Juli 2011

artikel 2 (Responsible riding ajang membangun kecerdasan emosi)


RESPONSIBLE RIDING AJANG MEMBANGUN KECERDASAN EMOSI
OLEH :
AKP.PRANATAL HUTAJULU,SH.SIK.
KANIT REGIDENT SATLANTAS POLWILTABES SURABAYA

            Surabaya sebagai salah satu kota metropolitan di dunia mempunyai masalah lalu-lintas yang pelik. Ketika masalah tersebut masih dalam tahap symptom (gejala)  perhatian publik terkesan minim dan ketika masalah tersebut menghasilkan dampak besar yaitu korban jiwa akibat kecelakaan lalu-lintas maka semua pihak baru berteriak. Noel C Bufe dalam Encyclopedia of Police Science  mengatakan bahwa pentingnya masalah lalu-lintas dapat dilihat dari besarnya kerugian penderita akibat kecelakaan lalu-lintas. Lebih dari tiga kali banyaknya orang terbunuh setiap tahun akibat kecelakaan dibanding dengan akibat perbuatan kriminal. Banyak sekali orang terluka dalam kecelakaan dibanding serangan pelaku tindak pidana. Nilai kerusakan hak milik dalam kecelakaan jauh lebih tinggi dibanding dengan hak milik yang rusak atau hilang akibat tindakan penjahat.
Faktor Manusia dalam lalu-lintas                                          
            Data kecelakaan lalu-lintas Satuan Lalu-lintas Polwiltabes Surabaya yang dilansir media Jawa Pos  pada hari Jumat tanggal 31 Agustus 2007 yang menunjukan bahwa sepanjang Januari sampai Agustus 2007 telah terjadi 505 kasus dengan jumlah korban meninggal dunia 145 orang, 54 luka berat dan 441 luka ringan.  Tanpa disadari jalan raya telah berubah wujud menjadi monster pembunuh yang telah banyak memakan korban. Dan ketika kita melakukan evaluasi faktor penyebabnya maka alasan human error (kesalahan manusia) kembali menjadi faktor dominan (454 kasus atau 89,9%). Pada faktor manusia terdapat 2 (dua) aspek penyangganya, pertama adalah aspek intelektual, kedua aspek kepribadian. Aspek Intelektual meliputi pengetahuan tentang rambu, marka, peraturan lalu-lintas dan ketrampilan mengemudi/mengendarai kendaraan. Untuk aspek pertama ini terkait erat dengan kecerdasan intelektual atau intelligence quotient (IQ) seseorang. Aspek kepribadian  meliputi sikap mental berprilaku di jalan raya, kesadaran untuk disiplin mematuhi peraturan dan komitmen terhadap keselamatan. Untuk aspek kedua ini erat dengan kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ) seseorang. Tingginya angka kecelakaan lalu-lintas saat ini menurut pendapat saya disebabkan karena pengguna kendaraan bermotor hanya mengedepankan kemampuan IQ  dan mengesampingkan kemampuan EQ-nya di jalan raya. Pakar EQ Daniel Goleman mengatakan bahwa aspek IQ hanya 20% menentukan keberhasilan seseorang dalam kehidupannya. Bahkan secara lebih ekstrim lagi, Robert Stenberg, seorang ahli dalam bidang succesful intelligence mengatakan bahwa bila IQ yang berkuasa, ini karena kita membiarkannya berbuat demikian. Dan bila kita membiarkannya berkuasa maka kita telah memilih penguasa yang buruk. Seorang pengendara yang mempunyai pengetahuan tentang  rambu-rambu dan mengerti akan peraturan lalu-lintas tidak menjamin bahwa dia telah safety riding, bila tidak ditunjang dengan disiplin untuk mematuhi rambu dan peraturan tersebut. Akibatnya adalah terjadi pelanggaran lalu-lintas yang merupakan cikal bakal dari kecelakaan lalu-lintas yang berdampak mengerikan tadi. Contohnya, seorang pengendara yang paham betul bahwa dilarang keras menyerobot traffic light tetapi dipaksakan untuk tetap melaju walaupun lampu menunjukkan warna merah. Pada saat ia memaksakan untuk melaju telah terjadi pelanggaran lalu-lintas dan akibat selanjutnya adalah sangat memungkinkan terjadi malapetaka yang bernama kecelakaan lalu-lintas. Untuk menghindari terjadinya kecelakaan di jalan raya kuncinya adalah memainkan peran  seimbang antara kemampuan IQ dan EQ seseorang dalam berkendara. Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya berjudul “Rahasia sukses membangun emotional spritual quotient (ESQ)” mengatakan bahwa telah terbukti secara ilmiah bahwa kecerdasan emosi memegang peranan penting dalam mencapai keberhasilan di segala bidang. Ary memasukkan “disiplin” sebagai salah satu unsur dalam senyawa kecerdasan emosional.
Kampanye Simpatik
            Selama ini penegakan hukum lalu-lintas dipandang sebagai metode ampuh untuk membentuk sikap disiplin pengemudi di jalan raya. Menurut saya penegakan hukum untuk membentuk kedisiplinan pengemudi hanya menghasilkan kedisiplinan semu, kepatuhan bila ada petugas dan ketika petugas pergi maka pelanggaran terjadi lagi. Untuk itu perlu dibangun kesadaran pribadi sebagai pondasi yang kuat untuk sikap disiplin tersebut. Kesadaran tersebut dapat dibangun melalui upaya non-penal dan persuasif. Menurut pakar sosiologi hukum dan pengamat kepolisian Satjipto Rahardjo, sebagai polisi sipil tentu saja polisi Indonesia diharapkan menempatkan diri secara proporsional kapan ia harus bertindak sebagai  a strong-hand of society” dan kapan harus bertindak dengan karakter “a soft hand of society”. Dalam rangka menumbuhkan kesadaran disiplin tersebut maka polisi harus bertindak sebagai a soft hand of society, melakukan upaya persuasif dan simpatik. Hal tersebut sangat disadari oleh pihak kepolisian sebagai garda terdepan penanganan disiplin berlalu-lintas bersama pihak lain yang intens terhadap masalah lalu-lintas yaitu Jawa Pos dan PT.MPM Honda Surabaya merumuskan program kampanye simpatik lalu-lintas berjudul Responsible Riding. Program tersebut tujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa setiap personal punya tanggung jawab terhadap keselamatan baik dirinya maupun orang lain. Untuk itu kata disiplin menjadi kata kunci dalam rangka perwujudan tanggung-jawab tersebut. Kenapa dikatakan simpatik? Karena pelaksanaannya tidak hanya mengedepankan penegakan hukum terhadap pelanggar saja tetapi diimbangi dengan upaya persuasif seperti pemberian reward kepada pengendara yang mematuhi ketentuan yang ada, pembagian helm standard, pembagian helm untuk anak, lomba cipta lagu patrol dan pembagian hadiah rutin 1 (satu) unit sepeda motor setiap minggunya sampai pada grandprizes  uang sebesar 80 juta rupiah. Berlokasi di sepanjang Jalan Darmo karena merupakan brand kota Surabaya, seperti Kota New York mempunyai Madison Square, Kota Singapura mempunyai Orchard Road, Kota Jakarta mempunyai Jalan Sudirman maka Kota Surabaya mempunyai Jalan Darmo sebagai etalase kota yang merupakan prioritas utama penanganan. Kampanye ini dapat dimanfaatkan pula oleh masyarakat sebagai ajang untuk membangun kecerdasan emosional dalam berkendara. Tidak ada kata terlambat bagi siapapun untuk mulai menumbuhkan  kecerdasan emosionalnya di jalan raya. Daniel Goleman berpendapat bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan kecerdasan intelektual. IQ umumnya  tidak berubah selama kita hidup. Sementara kemampuan yang murni kognitif cenderung tidak berubah (IQ), maka kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja dan dimana saja. Tidak peduli orang itu peka atau tidak, pintar atau tidak, pemalu, pemarah, atau sulit bergaul dengan orang lain sekalipun, dengan motivasi dan usaha yang benar kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi tersebut. Kecerdasan tersebut akan semakin mendekati sempurna bila kita menjadikan spiritual quotient (SQ) sebagai dasar bagi pilar IQ dan EQ berpijak. SQ di jalan raya tersebut dapat diwujudkan dengan selalu berdoa sebelum memulai perjalanan agar kita diberi keselamatan olehNya. Semoga program responsible riding dapat membangun perilaku disiplin dan bertanggungjawab di jalan raya,  disiplin yang sejati karena timbul karena adanya kesadaran pribadi bukan karena adanya petugas.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar