Rabu, 17 Agustus 2011

Tol Tengah Kota Surabaya, Belajar dari Bangkok dan Jakarta


Oleh: Pranatal Hutajulu

(artikel ini dimuat di Jawapos ,Senin 15 Agustus 2011)

Polemik pembangunan tol tengah Surabaya belum mencapai titik temu. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tetap menolak tegas. Sebagai alternatif, Risma membangun jalur rute lingkar timur (middle east ring road/MERR) dan frontage road. Di sisi lain, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mendukung adanya tol di Kota Pahlawan. Untuk meminimalkan penggusuran, gubernur mengganti dengan nama tol Aloha menuju Perak melalui aliran Sungai Kalimas. Menurut Soekarwo, tol itu penting bagi masyarakat Jawa Timur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan Berbasis Masyarakat

Riant D. Nugroho dalam bukunya Analisis Kebijakan (Gramedia 2007) menyatakan, salah satu pendekatan untuk memberikan arah kebijakan ketika terjadi konflik dalam kebijakan publik adalah pendekatan demokratis, yaitu kebaikan bagi sebagian besar orang. Artinya, arah kebijakan yang disarankan atau direkomendasikan atau diputuskan adalah kebijakan yang bermanfaat bagi mayoritas publik daripada sebagian kecil publik.
Di atas kertas, kebijakan tersebut mudah diambil, tapi sangat sulit dilaksanakan. Sebab, pertama, adanya bias elite. Pengambil keputusan, bagaimanapun, adalah elite. Tidak sedikit kebijakan publik yang akhirnya menguntungkan kelompok elite daripada publik.
Kedua, ada bias teknokratis. Analis dan perumus kebijakan biasanya adalah para ilmuwan yang teknokrat. Mereka biasanya terkait secara politik dan ekonomi dengan elite politik. Tidak sedikit ilmuwan melakukan ’’penelitian di balik meja’’ atau melakukan pembuktian ilmiah di masyarakat dengan pendekatan positivistic, yaitu dengan ’’memaksakan’’ kebenaran teori di dunia akademis pada kenyataan di lapangan.
Terkait dengan solusi mengatasi kemacetan tersebut, sebaiknya pemerintah berani menggulirkan kebijakan yang bisa bermanfaat bagi mayoritas masyarakat sebagai wujud pendekatan demokratis dalam penerapan kebijakan publik. Salah satunya, revitalisasi sarana transportasi publik yang sudah ada di Kota Surabaya dan membangun sarana transportasi masal baru seperti kereta monorel atau kereta subway. Kebijakan itu telah terbukti secara empiris menjadi solusi untuk menekan kemacetan di Kota Bangkok atau kota besar negara tetangga lainnya seperti Kuala Lumpur dan Singapura.

Belajar dari Bangkok

Penulis pernah berkesempatan mengikuti pelatihan kedinasan di Bangkok selama hampir dua bulan. Di antara sekian banyak faktor yang menunjang keberhasilan Kota Bangkok menekan masalah kemacetan, yang paling menonjol, menurut pengamatan penulis, adalah keseriusan otoritas di sana untuk membangun jaringan jalan dan sarana transportasi umum.
Pemerintah Thailand melakukan terobosan berani di bidang pembangunan transportasi masal dengan memulai proyek BERT (Bangkok Elevated Road and Train System) yang dikenal dengan nama proyek ’’hopewell’’. Proyek itu merupakan pembangunan jalan tol layang dan pembangunan tiga jalur kereta monorel di dalam Kota Bangkok.
Proyek yang dimulai pada 1990 itu terhenti pada 1997 karena krisis moneter dan secara resmi dibatalkan pada 1998. Namun, pada 5 Desember 1999, bersamaan dengan ulang tahun Raja Thailand Bhumibol Adulyadej (Raja Rama IX), untuk kali pertama dioperasikan jalur kereta monorel dua jalur (sky train metro system) atau yang dikenal dengan proyek BTS (Bangkok Rapid Transit System).
Lalu, Juli 2004, mulai dioperasikan jalur kereta bawah tanah yang dikenal dengan MRT Subway. Jalur itu menghubungkan pusat kota dengan wilayah utara dan timur Kota Bangkok. Yang terbaru selesai dibangun adalah jalur kereta monorel cepat yang menghubungkan Airport Suvarnabhumi menuju pusat Kota Bangkok. Kereta monorel dengan nama Suvarnabhumi Airport Link itu mempunyai panjang jalur 28,5 km mulai City Air Terminal di Bandara Suvarnabhumi yang menghubungkan Stasiun MRT Subway di Petchaburi atau Stasiun BTS Phaya Thai.
Saat ini sedang dibangun lima penambahan jalur kereta monorel serta kereta bawah tanah (subway) dan sebelas jalur lainnya dalam tahap perencanaan. Adanya sarana dan prasarana transportasi, baik monorel maupun kereta bawah tanah, tersebut membuat masyarakat Bangkok mempunyai pilihan untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi ketika berangkat ke kantor atau beraktivitas harian sehingga kemacetan bisa direduksi.

Pengalaman Tol Tengah Jakarta
Pembangunan jalan tol tengah di Surabaya bisa dilaksanakan ketika sarana dan prasarana transportasi publik sudah terbangun dengan baik. Mengapa? Ketika kita memilih membangun jalan tol tengah kota yang tidak diimbangi pembangunan sarana transportasi publik yang mapan, kita memilih solusi yang bersifat sementara.
Lima sampai 10 tahun ke depan, seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan, kemacetan akan terjadi lagi memenuhi Kota Surabaya. Kita bisa belajar dari kasus Kota Jakarta yang memiliki jalan tol tengah kota. Tapi, saat ini kita lihat ’’jalan bebas hambatan’’ tersebut menjadi ’’jalan yang penuh hambatan’’.
Menurut penelitian guru besar Institut Teknologi Bandung Prof Ofyar Z. Tamin, kerugian lantaran pemborosan penggunaan bahan bakar karena kemacetan mencapai Rp 70 triliun–Rp 80 triliun setiap tahun. Karena itu, pemerintah harus mengeluarkan biaya besar untuk subsidi BBM.
Pembangunan transportasi publik yang cepat, aman, nyaman, serta murah menjadi alternatif yang menguntungkan bagi masyarakat dalam beraktivitas dari satu tempat ke tempat lainnya. Penulis sangat mendukung pertumbuhan sektor ekonomi di mana aktivitas perdagangan membutuhkan kelancaran dan efisiensi biaya di jalan raya. Semoga dalam waktu dekat lahir kebijakan di bidang transportasi publik yang berpihak kepada publik. Kita tunggu! (*)

Kasubbag Renmin Ditlantas Polda Jatim

Rabu, 27 Juli 2011

artikel 10 (belajar mereduksi kemacetan dari bangkok)

                                                                          
                      BELAJAR MEREDUKSI KEMACETAN DARI BANGKOK
oleh 
PRANATAL HUTAJULU
KASUBBAG RENMIN DITLANTAS POLDA JATIM

Kota Bangkok adalah ibukota Thailand, negeri yang berhasil mengembangkan agroindustri dan kita kenal melalui beberapa nama produksi buah-buahan yang diimpor ke Indonesia seperti Jambu Bangkok atau Durian Monthong. Beberapa bulan yang lalu penulis berkesempatan untuk mengikuti pelatihan kedinasan yang berlokasi di Bangkok selama hampir dua bulan. Kami menemukan suatu hal yang menarik bisa dipelajari dari negeri ini selain tentang argoindustri,  yaitu keberhasilan kota itu untuk mereduksi kemacetan lalu-lintas di jalan raya. Saya tertarik mengambil contoh kota ini sebagai komparasi karena secara umum situasi dan kondisi sosial serta pertumbuhan ekonomi tidak terlalu berbeda jauh dengan kota di Indonesia seperti Jakarta atau Surabaya. Walaupun jumlah populasi penduduk kota ini menembus angka 9,1 juta pada tahun 2010 (penduduk Jakarta 9,5 juta orang) tetapi kemacetan lalu lintas di jalan protokol kota ini terjadi hanya pada jam jam tertentu saja dan sebagian besar terjadi di kawasan pusat kota. Menurut data resmi dari Departemen Transportasi Darat Thailand,  jam padat lalu lintas kota Bangkok terjadi pada pagi hari mulai pk 07.00 -10.00 dan sore hari mulai pukul 16.00 - 19.00. Setelah rentang waktu tadi relatif tidak ada masalah kemacetan lalu lintas di sepanjang ruas-ruas jalan protokol kota Bangkok. Bandingkan dengan kemacetan di jalan-jalan kota Jakarta yang tidak mengenal waktu dan tempat, dari pagi sampai malam, di tengah kota juga di pinggiran kota. Dari sekian banyak faktor yang menunjang keberhasilan kota Bangkok menekan masalah kemacetan, faktornya yang paling menonjol menurut pengamatan penulis adalah keseriusan otoritas disana untuk membangun jaringan jalan dan sarana transportasi umum. Menurut beberapa rekan kami Polisi Thailand yang menjadi peserta pelatihan, sampai dengan era tahun 1990an kemacetan di Kota Bangkok sangat parah. Kemacetan menjadi masalah serius dan momok bagi masyarakat pengguna jalan raya. Merespon permasalahan tersebut maka Pemerintah Thailand melakukan suatu langkah terobosan berani di bidang pembangunan transportasi massal. Pada awal tahun 1990 pemerintah Thailand memulai proyek BERT (Bangkok Elevated Road and Train System) yang dikenal dengan nama proyek "hopewell". Proyek ini merupakan proyek pembangunan jalan tol layang dan pembangunan tiga jalur kereta monorel di dalam kota Bangkok. Proyek ini terhenti pada tahun 1997 karena krisis moneter yang melanda Thailand dan Asia dan secara resmi dibatalkan pada tahun 1998. Tidak ingin berlama-lama terkurung dalam keterpurukan pada tanggal 5 Desember 1999 bersamaan dengan ulang tahun Raja Thailand Bhumibol Adulyadec (Raja Rama IX) untuk pertama kalinya dioperasikan jalur kereta monorel dua jalur (skytrain metro system) atau dikenal dengan proyek BTS (Bangkok Rapid Transit System).      Pada bulan Juli 2004 mulai dioperasikan jalur kereta bawah tanah yang dikenal dengan MRT Subway yang jalurnya menghubungkan pusat kota dengan wilayah utara dan timur kota Bangkok. Yang terbaru selesai dibangun adalah jalur kereta monorel cepat yang menghubungkan Airport Suvarnabhumi menuju ke pusat kota Bangkok. Kereta monorel ini dikenal dengan nama Suvarnabhumi Airport Link dan mempunyai panjang jalur sekitar 28,5 KM mulai dari City Air Terminal di Bandara Suvarnabhumi menghubungkan Stasiun MRT Subway di Petchaburi atau Stasiun BTS Phaya Thai. Saat ini sedang dibangun 5 (lima) penambahan jalur kereta monorel dan kereta bawah tanah (Subway) dan 11 (sebelas) jalur lainnya dalam tahap perencanaan. Adanya sarana dan prasarana transportasi baik monorel maupun kereta bawah tanah tersebut menjadikan masyarakat Bangkok punya pilihan untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi ketika berangkat ke kantor atau melakukan aktivitas hariannya sehingga kemacetan dapat direduksi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Mempunyai sarana transportasi publik yang cepat, aman, nyaman dan murah masih merupakan impian bagi rakyat Indonesia. Lihat saja kota Jakarta yang merupakan ibukota negara dan kota terbesar di Indonesia sampai hari ini hanya mampu mengoperasionalkan kereta listrik permukaan (surface train) yang dikenal dengan KRL dan bus way sebagai sarana transportasi massa bagi warga Jakarta. Kedua sarana transportasi tersebut selain sudah ketinggalan jaman bila dibandingkan perkembangan  transportasi umum di dunia juga banyak menimbulkan masalah bagi masyarakat pengguna jalan raya lainnya. KRL merupakan kereta listrik permukaan yang berjalan di atas tanah dan banyak menimbulkan perlintasan sebidang dengan jalan raya. Akibatnya kemacetan lalu lintas tidak terelakkan lagi karena kendaraan bermotor yang berjalan di jalan raya harus mengalah ketika kereta listrik ini melintas. Proyek busway yang diharapkan mampu menjadi solusi transportasi umum yang representatif bagi warga dan dapat mengurangi masalah kemacetan malah membuat kemacetan semakin parah khususnya di jalur jalan yang menjadi koridor busway. Pembangunan proyek monorel yang dimulai tahun 2004 dan pada tahun 2007 terhenti pembangunannya dan saat ini menyisakan bangkai tiang beton monorel. Walau kabarnya Pemerintah Propinsi DKI Jakarta akan mengambil alih mega proyek ini dari PT.Monorel Jakarta tapi sampai saat ini belum terlihat keberlanjutan pembangunannya.  Rencana Pemerintah Propinsi DKI Jakarta yang akan membangun proyek Mass Rapid Transit (MRT) juga belum terlihat pelaksanaan phisiknya.  Sementara untuk kota Surabaya kita mendengar adanya rencana pembangunan proyek MRT jalur Stasiun Gubeng – Bandara Juanda yang informasinya akan dimulai pada tahun 2011 tetapi  yang lebih mengemuka saat ini adalah rencana pembangunan jalan tol tengah Kota Surabaya yang menjadi polemik dan konflik dalam kebijakan publik.
Kebijakan berbasis masyarakat
Menurut Riant D Nugroho dalam bukunya analisis kebijakan (Gramedia 2007) mengatakan bahwa salah satu pendekatan untuk memberikan arah kebijakan ketika terjadi konflik dalam kebijakan publik adalah pendekatan demokratis yaitu kebaikan bagi sebagian besar orang. Artinya arah kebijakan yang disarankan atau direkomendasikan atau diputuskan adalah kebijakan yang memberi manfaat bagi mayoritas publik daripada sebagian kecil publik. Diatas kertas kebijakan ini mudah diambil tetapi dalam pelaksanaan sangat sulit. Pertama, karena adanya bias elit. Pengambil keputusan bagaimanapun juga adalah elit. Dan tidak sedikit kebijakan publik pada akhirnya menguntungkan kelompok elit  dari pada publik itu sendiri. Kedua ada bias teknokratik. Analis dan perumus kebijakan biasanya adalah para ilmuwan yang teknokrat. Mereka biasanya terkait secara politik dan ekonomi  dengan elit politik. Tidak sedikit ilmuwan yang melakukan “penelitian di balik meja” atau melakukan pembuktian ilmiah di masyarakat dengan pendekatan positivistik yaitu dengan “memaksakan” kebenaran teori di dunia akademis pada kenyataan di lapangan. Terkait solusi mengatasi kemacetan ini sebaiknya pemerintah harus menggulirkan kebijakan yang bisa membawa manfaat bagi mayoritas masyarakat sebagai wujud pendekatan demokratis dalam penerapan kebijakan publik. Salah satunya dengan revitalisasi sarana transportasi publik yang sudah ada di Kota Surabaya dan membangun sarana transportasi massal baru seperti kereta monorel atau kereta subway yang telah terbukti secara empiris menjadi solusi menekan kemacetan di Kota Bangkok. Sebaiknya pemerintah daerah memikirkan kembali rencana pembangunan jalan tol tengah kota. Karena apa? Ketika kita memilih membangun jalan tol tengah kota yang tidak diimbangi oleh pembangunan sarana transportasi publik yang mapan maka kita memilih solusi yang bersifat sementara, lima sampai sepuluh tahun kedepan seiring pesatnya pertumbuhan kendaraan maka kemacetan akan terjadi lagi memenuhi Kota Surabaya. Kita bisa belajar dari kasus Kota Jakarta yang memiliki jalan tol tengah kota tetapi saat ini kita lihat “jalan bebas hambatan” tersebut menjadi “jalan yang penuh hambatan”. Dengan membangun transportasi publik yang cepat ,aman, nyaman dan murah  maka menjadi alternatif menguntungkan bagi masyarakat dalam beraktivitas bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Pemborosan  penggunaan bahan bakar akibat kemacetan yang menurut penelitian Guru Besar Institut Tehnologi Bandung Prof Ofyar Z Tamin mencapai kerugian antara Rp.70 – 80 triliun setiap tahunnya dapat ditekan serendah mungkin.  Ini sangat mendukung pertumbuhan sektor ekonomi dimana aktivitas perdagangan membutuhkan kelancaran dan efisiensi biaya di jalan raya. Melepaskan kita dari ketergantungan penggunaan bensin ataupun solar yang mana harga minyak dunia sulit diprediksi sehingga pemerintah banyak mengeluarkan biaya untuk subsidi. Ini tentunya juga selaras dengan arah kebijakan Gubernur Jawa Timur yang pro poor (menerapkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin). Semoga dalam waktu dekat akan lahir kebijakan di bidang transportasi publik yang berpihak pada publik. Kita tunggu!

JUNKAI RENRAKU
Metode Kepolisian Jepang Berbasis Masyarakat
Oleh
PRANATAL HUTAJULU
(Kasubbag Renmin Ditlantas Polda Jatim)
                                                                                                                     
 Kepolisian Jepang merupakan salah satu badan kepolisian terbaik di dunia. Bisa disebutkan terbaik karena police ratio, sarana dan prasarana yang dimilikinya bisa dibilang memenuhi standar ideal baik yang ditetapkan oleh badan PBB maupun standar umum dunia lainnya. Selain itu seluruh wilayah Jepang tercatat mempunyai tingkat kriminalitas yang relatif kecil dibanding dengan Negara lainnya di dunia. Ini tentunya menjadi salah satu catatan keberhasilan Badan Kepolisian Jepang melengkapi kemapanan sarana,prasarana dan sumber daya manusia petugasnya. Keberhasilan Kepolisian Jepang mengamankan wilayah Jepang banyak ditentukan oleh system kepolisian berbasis masyarakat yang dikenal dengan koban atau chuzaisho. Dalam rangka mendekatkan diri ke masyarakat seorang polisi di koban atau chusaizho melaksanakan junkai renraku (patroli kunjungan) merupakan salah satu tugas rutin seorang polisi Jepang khususnya yang bertugas di koban atau chuzaisho dengan mengunjungi warga di rumah yang berada di wilayah tanggung jawab tugasnya. Setiap rumah tangga setidaknya dikunjungi dua kali setahun atau dapat ditingkatkan sesuai kondisi dan pertimbangan situasi. Dalam kegiatan patroli kunjungan tersebut seorang polisi berusaha untuk bertemu dengan pemilik rumah dan mengadakan kontak dialogis dengan substansi pembicaraan terkait data warga dan keluarganya (nama, umur, pekerjaan, pendidikan, dsb) ,bagaimana situasi keamanan di rumah dan lingkungan sekitar,saran dan usul kepada polisi terkait perkembangan situasi di rumah dan lingkungannya.                         
SEJARAH DAN MANFAAT JUNKAI RENRAKU
 Menurut Walter L. Ames dalam bukunya Police and Japan community,  Junkai renraku tercatat pertama kali diterapkan oleh kepolisian Jepang pada tahun 1874. Merupakan system yang diterapkan sebelum masa perang dalam rangka pencarian informasi oleh kepolisian yang dikenal dengan nama toko chosa (survey rumah tangga). Petugas yang melaksanakan toko chosa mengunjungi warga dalam yuridiksinya dan melakukan survey wawancara terkait informasi tentang hal yang dibahas diatas ditambah informasi tambahan tentang apakah sudah menerima vaksinasi, apakah pernah terlibat kriminalitas, apakah pernah menjalani proses hukum. Warga yang menolak menjawab pertanyaan polisi akan dibawa ke koban untuk diinterogasi lebih lanjut.  Informasi yang telah dikumpulkan polisi akan dipergunakan dalam rangka pengawasan pemerintah kepada warganya atau untuk kepentingan umum seperti menunjukkan lokasi alamat. Ini menjadi salah satu kegunaan utama karena banyak jalan di Jepang pada waktu itu tidak dinamai atau tidak dilengkapi dengan papan nama jalan. Perbedaaan antara toko chosa dan junkai renraku adalah saat sekarang ini pertanyaan yang diajukan polisi lebih terbatas dan jawaban atas pertanyaan bukan sesuatu yang wajib. Petugas tidak bisa memaksa warga untuk berbagi informasi walaupun banyak masyarakat yang berpendapat bahwa mereka menjawab pertanyaan polisi tersebut secara sukarela. Data dan informasi hasil pelaksanaan junkai yang terkumpul di koban atau chuzaisho banyak mendatangkan kegunaan. Banyak penyidikan kasus kriminal oleh reserse kepolisian yang didukung oleh data dan informasi ini, seperti data siapa warga yang bekerja di malam hari. Data ini diperlukan apabila kepolisian ingin mencari orang yang berpotensi sebagai saksi mata pada kasus kriminalitas yang banyak terjadi di malam hari. Pada saat bencana dapat pula digunakan untuk mengidentifikasikan jumlah dan identitas korban seperti yang terjadi pada bencana gempa hebat di Jepang pada tahun 1994 yang memakan korban ribuan warga Jepang. Selain berbagai kegunaan yang sudah kita bahas tadi, junkai renraku juga berhasil menciptakan jalinan komunikasi dan hubungan personal antara polisi dan warga yang berada dalam wilayah kerjanya. Selain polisi yang bisa mengenal kondisi wilayahnya, wargapun bisa mengenal lebih jauh siapa polisi yang bertugas di wilayah domisili atau wilayah tempat dia bekerja, mendapatkan informasi tentang perkembangan situasi keamanan dan  tips untuk menghindar dari sasaran para kriminal. Hal tersebut berdampak pada tingginya tingkat kepercayaan masyarakat Jepang pada polisinya yang bisa tergambar dari aktivitas saluran panggilan darurat 110 yang selalu padat digunakan oleh masyarakat Jepang untuk sekedar melaporkan masalah kecil seperti kehilangan kunci rumah sampai laporan kasus pembunuhan. Kepolisian Jepang berhasil menegakkan keteraturan dan mewujudkan keamanan masyarakatnya. Resep ampuhnya ternyata bukan semata-mata disebabkan oleh sarana dan prasarana yang lengkap atau jumlah personil yang ideal tetapi ditentukan oleh metode kepolisian berbasis masyarakat seperti junkai renraku. Hal tersebut merupakan keniscayan karena Sir Robert Mark (Kepala Kepolisian Inggris tahun 1972) pernah mengatakan bahwa senjata ampuh polisi bukan terletak pada tongkat borgolnya, bukan terletak pada senjata yang tergantung di pinggangya, bukan pada water cannonnya sekalipun. Senjata ampuh polisi terletak pada simpati masyarakat. 

artikel 9 (pengamanan swakarsa ala masyarakat jepang)


   PENGAMANAN SWAKARSA ALA MASYARAKAT JEPANG
Oleh :
Pranatal Hutajulu,SH.SIK
                                                          Kabag Ops Polres Gresik.           

             Jepang sering disebutkan banyak pihak sebagai salah satu negara teraman didunia.   Pada tahun 2009 menurut survey yang dilakukan oleh Global Peace index Ranking menyatakan  kalau Jepang menjadi negara teraman ke-7 dari 140 negara di dunia.  Hal tersebut bisa kita lihat dari artikel pada alamat web berikut ini www.visionofhumanity.org/gpi/results/rankings/2009/. Bahkan tahun 2008 Jepang menduduki peringkat ke 5 teraman di dunia. Rangkaian data tersebut tidak serta merta membuat saya percaya bahwa Jepang itu aman. Sampai pada bulan  November lalu saya dan 23 perwira POLRI berkesempatan untuk mengikuti pelatihan di negeri sakura tersebut dan saya beranggapan inilah waktu yang tepat untuk membuktikan hal tersebut. Ketika kami sampai di kota Tokyo  dan melihat sendiri bagaimana situasi disana maka kesangsian itu menjadi sirna. Kami sering melihat bagaimana seorang yang tertidur di atas subway (kereta listrik bawah tanah) dengan masih posisi memangku laptop atau memegang telepon genggam tetapi tidak ada satupun orang yang berusaha mencuri laptop atau mengambil telepon gengam tersebut. Ataupun ada seorang mabuk yang terjatuh dan tak sadarkan diri dilorong stasiun dengan dompet di kantung belakang muncul dan memperlihatkan isi beberapa uang kertas didalamnya tetapi tidak ada satupun yang mau menyentuh dompet tersebut. Fenomena lain yang bisa menjelaskan bahwa Tokyo adalah kota aman bisa kita lihat dari banyaknya wanita yang tidak takut berjalan sendirian di jalan pertokoan di malam hari yang gelap atau stasiun yang sepi dengan model baju yang cukup minim bagi ukuran orang Indonesia dan memakai perhiasan seperti emas atau berlian. Kaum wanita disana tidak takut menjadi korban perampokan atau perkosaaan. Lalu setelah melihat fenomena tadi ada sebuah pertanyaan di benak saya bahwa Jepang aman apakah karena polisinya hebat? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya benar. Polisi Jepang memang salah satu organisasi kepolisian paling ideal di dunia. Jumlah personil menurut data dari badan kepolisian nasional Jepang tahun 2008 adalah sebesar 252.888 personil. Rasio polisi Jepang sudah mendekati standard rasio yang ditetapkan PBB yaitu sekitar 1: 490 (ratio PBB 1: 400) bandingkan dengan rasio polisi Indonesia sekitar 1 : 1500.  Di seluruh negeri tersebar 6191 koban (pos polisi perkotaan) dan 7020 chuzaisho (pos polisi pedesaan). Gaji personilnya bisa memenuhi kesejahteraan ,untuk bintara polisi berkisar antara 200.000 yen sampai 600.000 yen dengan kurs 1 yen = 110 rupiah maka margin gaji polisi bintara Jepang adalah antara 20 juta sampai 60 juta rupiah. Sarana dan prasarananya sangat lengkap dan canggih tetapi bila kita lihat angka penyelesaian kasusnya menurut saya tidak menunjukkan prestasi yang istimewa. Pada tahun 2008 prosentase penyelesaian kasus yang berhasil dilakukan kepolisian Jepang  adalah 31,5% bahkan pada tahun 2001 ketika Jepang mengalami resesi, prosentase penyelesaian kasusnya adalah 19,8% (sumber data Divisi Perencanaan Keamanan Masyarakat, Badan Kepolisian Nasional Jepang). Pada beberapa kasus Kepolisian Jepang mengalami kesulitan untuk menangani kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok boryokudan atau dikenal juga dengan nama Yakuza. Sampai oktober 2008 terdapat 22 kelompok boryokudan di seluruh Jepang dengan jumlah anggotanya mencapai kurang lebih 84200 yang terdiri dari 40900 anggota tetap dan 43300 anggota rekanan. Lalu apa penjelasan yang bisa menjawab apa rahasia Jepang bisa aman?
TINGGINYA KEPEDULIAN MASYARAKAT
 Pada kesempatan lain ketika kami sedang berlatih dan mengikuti polisi jepang berpangkat assistant inspector (ajun inspektur di Indonesia) yang bernama ishizaki yang sedang mengamankan suatu kegiatan festival masyarakat, kami dikejutkan oleh seseorang berumur sekitar 40 tahun yang mendekati polisi dan mengembalikan sebuah telepon genggam yang ia temukan di salah satu sudut lapangan tempat festival berlangsung. Setelah itu Ishizaki mencatat data identitas si penemu dan menghubungi panitia penyelenggara untuk diumumkan kepada pengunjung. Bentuk lain kesadaran warga Jepang untuk berpartisipasi dalam mengamankan wilayah dapat kita liat dari banyaknya Jishu Bohaan Volunteer (kelompok sukarelawan pencegahan kejahatan) atau FKPM (forum komunikasi polisi dan masyarakat) di Indonesia. Di seluruh negeri terdapat 40.538 kelompok jishu bohaan dengan jumlah anggota sekitar 2.501.000 sukarelawan. Kota Mito di prefektur (provinsi) Ibaraki, salah satu kota dimana saya ditempatkan untuk berlatih, mempunyai total 33  kelompok Jishu Bohaan dengan jumlah anggota sebesar 2600 personil yang berasal dari berbagai profesi mulai dari pengusaha,pegawai negeri,guru,pedagang, dan pensiunan. Perwakilan dari mereka setiap sebulan sekali berkumpul di Police Station (setingkat polres) Kota Mito untuk saling bertukar informasi berkaitan tentang kamtibmas. Diawali dengan pemberian informasi oleh pihak kepolisian tentang analisa dan evaluasi gangguan kamtibmas kepada para anggota untuk diteruskan kepada warga lain dan selanjutnya feedback dari para anggota yang berisikan saran dan masukan untuk polisi dalam pelaksanaan tugasnya. Kegiatan mereka banyak melakukan sosisalisasi kepada warga di lingkungannya tentang bahaya kejahatan, menempel pamflet atau selebaran tentang peringatan kepada warga didaerah yang rawan kejahatan. Mereka juga melaksanakan patroli dengan menggunakan mobil swadaya yang terpasang rotator biru. Mobil tersebut berasal dari salah satu anggota yang mampu dan merelakan mobilnya untuk menjadi sarana transportasi untuk pelaksanaan patroli. Di Negara Jepang menurut undang-undang dibenarkan untuk mobil patroli sipil masyarakat ini melaksanakan patroli dan menggunakan rotator berwarna biru. Dalam pelaksanaan patroli bila menemukan suatu aksi kejahatan mereka bertugas untuk segera melaporkan ke kantor polisi terdekat lewat pesawat radio atau telepon selular sambil mengamati dan mencatat ciri-ciri pelaku. Mereka tidak dibenarkan untuk menangkap tersangka. Pembiayaan kegiatan mereka berasal dari iuran tiap anggota secara sukarela dan sebagian kecil dibantu oleh pemerintah daerah, sebagian dana tersebut dipakai untuk asuransi bagi keselamatan jiwa mereka ketika bertugas. Selain itu di salah satu sub-wilayah kota Mito (setingkat kelurahan) yaitu Akatsuka   yang mempunyai kelompok pencegahan kejahatan yang bernama Akatsuka Jishu Bohaan Volunteer yang beranggotakan 54 anggota dan kebanyakan berasal dari orang-orang pensiunan atau dari warga yang membuka usaha sendiri sehingga tidak terikat jam kantor. Mereka setiap harinya secara sukarela melakukan kegiataan bernama school guard dengan aktivitas utama pengawalan terhadap anak TK dan SD yang pulang dengan berjalan kaki. Di Jepang mempunyai kebiasaan seorang anak TK atau SD tidak dijemput kalau pulang sekolah. Mereka diajarkan mandiri untuk pulang sendiri berjalan kaki dalam bentuk kelompok sesuai wilayah rumahnya tetapi dalam perkembangannya anak-anak ini sering menjadi sasaran pelaku kejahatan. Maka beberapa tokoh masyarakat wilayah akatsuka sepakat membentuk kelompok sukarelawan ini untuk mengantar dan menjemput mereka. Masih berkaitan dengan perlindungan terhadap anak yang pulang sekolah, beberapa warga juga bersedia menjadikan rumahnya menjadi  rumah aman bagi anak-anak yang merasa dibuntuti atau menjadi percobaan kejahatan. Rumah tersebut bertempelkan stiker besar di pagarnya bergambar seorang anak kecil dan bertuliskan kodomo 110/ haykou tou ban no ie yang artinya rumah penyelamatan anak/ panggilan darurat 110. Pemilik rumah mempunyai tugas untuk mengamankan anak yang datang ke rumah tersebut akibat merasa diikuti seseorang dan melaporkan peristiwa tersebut ke kantor polisi terdekat. Pada kesempatan pelatihan kami menanyakan kepada ketua asosiasi pencegahan kejahatan akatsuka yaitu Ishikawa tentang alasan kenapa mereka sangat bersemangat untuk melakukan berbagai hal yang telah saya jelaskan diatas. Padahal mereka sama sekali tidak dibayar bahkan mereka harus membayar iuran anggota? Jawaban Ishikawa bahwa ini dilakukan karena kami menyadari akan pentingnya rasa aman sebagai penunjang kehidupan mereka. Kejahatan atau gangguan keamanan itu lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat sehingga masyarakat itu sendiri yang bisa menentukan apakah gangguan itu bisa menjadi besar atau bisa ditekan. Lalu tentunya anda akan bertanya kembali dimana posisi dan peranan polisi dalam hal ini?  Menurut analisa saya setelah mengikuti pelatihan, posisi dan fungsi polisi di jepang adalah cenderung sebagai mitra dan fasilitator bagi terwujudnya rasa aman di lingkungan warga. Polisi bukanlah pihak yang paling tahu tentang bagaimana mewujudkan keamanan. Polisi hanyalah pendamping bagi jalannya proses masyarakat membangun system keamanan bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Masyarakat Jepang menyadari penuh bahwa menjadi polisi bagi diri sendiri adalah sikap yang sangat mendukung bagi pencegahan berkembangnya kejahatan. Dan kita bisa mendapat jawaban kenapa Negara Jepang bisa menjadi salah satu Negara teraman di dunia. Pantas saja bang napi sering berkata “ingat kejahatan terjadi bukan hanya karna ada niat pelakunya tetapi juga disebakan karena adanya kesempatan. Untuk itu waspadalah, waspadalah!”.
(TULISAN INI PERNAH DIMUAT DI RUBRIK METROPOLIS HARIAN JAWAPOS)
               

artikel 8 (Behind the great man there is great woman)

BEHIND THE GREAT MAN THERE IS A GREAT WOMAN
(pengalaman menarik dari Chuzaisho Morozawa-Ibaraki)
Oleh
PRANATAL HUTAJULU
(PESERTA COMPARATIVE STUDY OF JAPAN POLICE SYSTEM 2009)

            Morozawa memang sebuah nama yang mirip Maria Ozawa tetapi kenyataannya hal itu adalah dua hal yang sama sekali tidak mirip. Morozawa adalah sebuah daerah terpencil di wilayah yang dikelilingi pegunungan dan terletak sekita 50 kilometer arah utara kota Mito, prefektur Ibaraki. Di wilayah tersebut tinggallah seorang wanita yang cantik bernama Hiroko. Saya mengatakan cantik bukan karena saya mulai dilanda sakit kuning karena pada waktu itu saya berada di daerah pedesaan tetapi karena Hiroko adalah benar-benar cantik baik dari outner maupun inner beauty-nya. Hiroto tinggal disitu bukan sendirian tetapi mendampingi suaminya yaitu sergeant police Imamura, petugas chuzaisho morozawa. Hari itu Selasa 20 Oktober 2009 sesuai jadwal kami yang bertugas di PS Mito mendapat jadwal untuk melakukan observasi di chuzaisho Morozawa PS Omiya. Setelah menempuh berjalan kurang lebih dua jam dengan mobil tibalah kami di chuzaisho tersebut. Sebelumnya memang kami mendapat keterangan yang bersifat promosi dari Kepala PS Omiya yang mengatakan bahwa Chuzaisho Morozawa adalah salah satu chuzaisho yang terbaik di Omiya, petugas beserta istrinya banyak membuat kegiatan masyarakat sehingga masyarakat senang kepada mereka. Kami menanggapi dingin “promosi” tersebut karena bisanya kan memang di Indonesia “kecap selalu nomor satu”. Ketika kami memasuki chuzaisho tersebut kami langsung disambut dengan ramah oleh Sergeant Imamura selaku petugas chuzaisho dan mempersilahkan kami duduk di ruang tamu. Setelah itu muncullah sang istri Hiroko dengan senyum ramahnya menegur semua peserta. Respon terhadap kedatangan kami sangat “appreciated” dengan sibuknya dia menghidangkan berbagai aneka makanan dan minuman kepada kami tetapi sampai pada tahap ini kami merasa tidak ada yang berlebih dari istri petugas chuzaisho tersebut kecuali penampilannya yang lumayan menarik dan orangnya yang kelihatannya ramah. Setelah kami melakukan diskusi dengan petugas chuzaisho selama kurang lebih setengah jam dan akan melanjutkan dengan kegiatan patroli disinilah mulai terlihat kelebihan dari Hiroko selaku istri petugas chuzaiho. Ketika mobil kami akan keluar dari chuzaiho, Hiroko sudah siap berdiri di pinggir jalan untuk menghentikan kendaraan lain utnuk mempersilahkan kendaraan kami masuk ke jalan raya. Dirinya sama sekali tidak merasa malu atau gengsi untuk melakukan hal tersebut yang menurut pendapat sebagian kaum wanita merupakan kegiatan yang tidak cocok dengan kodrat wanita. Setelah kami melakukan patroli dan dilanjutkan tatap muka dengan tokoh masyarakat dan sukarelawan kamtibmas Morozawa di gedung pertemuan kecil semacam balai desa kami melihat Hiroko sudah ada di tempat itu dan sibuk melakukan persiapan untuk acara. Setelah menyambut kami dia terlihat menuntun salah satu peserta pertemuan yang berusia lanjut untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Setelah acara selesaipun dirinya pula yang sibuk mengangkati kursi dan membersihkan lokasi dan menyempatkan melepas kami yang akan melanjutkan kegiatan junkai (sambang). Kegiatan junkai kami laksanakan ke beberapa rumah warga dan diakhiri dengan kunjungan ke rumah bapak Hiyama yang berprofesi selaku pengusaha pertamanan dan kembali kami mendapati Hiroko telah siap menyambut kami di tempat itu dengan senyumannya yang sangat charming. Ketika jamuan makan akan dilaksanakn, hiroko yang sibuk mengangkati makanan dari dapur dan membantu istri bapak Hiyama mempersiapkan segala sesuatunya. Ketika jamuan makan berlangsung dirinya tidaklah banyak bicara tetapi selalu dengan wajah yang ekspresif merespon setiap pembicaraan yang kami lakukan antara kami dengan tuan rumah atau suaminya. Ketika jamuan makan selesai dan kami akan kembali ke chuzaisho, Hiroko kembali pulang membelakangi untuk membantu tuan rumah merapikan ruang makan. Sesampainya di chuzaisho kami kembali melakukan diskusi berkaitan denga pelaksanaan tugas dan sergeant Imamura memperlihatkan beberapa kliping Koran dan photo yang memperlihatkan kegiatan yang telah dilakukan chuzaishonya seperti memasang pohon natal di depan chuzaisho pada saat hari natal dan memasang pohon harapan pada perayaan “tanabata”. Semua itu bisa dilakukan karena kreativitas Hiroko yang pandai membuat pohon natal dan ponon harapan tanabata. Pada gambar tersebut memperlihatkan betapa ramainya chuzaisho tersebut didatangi anak-anak dan warga masyarakat lainnya sehingga media massa pun tertarik untuk meliput kegiatan tersebut. Gambar lainnya juga menunjukkan betapa aktifnya Imamura dan Hiroko dalam membantu berbagai kegiatan masyarakat. Pengalaman kami berinteraksi selama beberapa jam di chuzaisho ini mendorong kami untuk mengambil kesimpulan bahwa Imamura selaku petugas chuzaisho telah berhasil tidak saja dalam melaksanakan teknis pekerjaannya tetapi juga dalam merebut hati masyarakat sekitar. Indikatornya adalah rasa sayangnya beberapa tokoh masyarakat yang kami kunjungi kepada Imamura yang dibuktikan dari pernyataan Hiyama (pengusaha pertamanan) yang mengatakan bahwa dirinya telah mengajukan kepada kepala PS agar Imamura jangan dipindah dari chuzaisho Morozawa dan pernyataan seorang janda tua yang hidup sendirian yang mengatakan bahwa semenjak Imamura menjadi petugas chuzaisho dirinya sering dikunjungi dan situasi Morozawa menjadi aman. Untuk mengecek sejauh mana kebenaran kata “aman” tadi kami juga melakukan crosscheck data dan sepanjang tahun ini hanya terjadi 3 kasus kejahatan di wilayah Morozawa. Keberhasilan tersebut saya yakin banyak ditunjang oleh peran besar istrinya yaitu Hiroko. Peran besar yang diperlihatkan disini oleh Hiroko bukanlah peran besar untuk mendominasi atau ikut mengatur suami agar bagaimana suami melakukan tugasnya dengan baik tetapi mendukung suami dari belakang dan karena kreativitasnya maka suaminya dapat melakukan inovasi dengan melakukan kegiatan kegiatan lain diluar tugasnya dalam rangka mencairkan kebekuan pandangan dari masyarakat dalam melihat kantor polisi sebagai bagian dari birokrasi pemerintahan. Pengalaman dari morozawa ini memaksa saya untuk mengingat kembali sebuah 'english proverb' yang mengatakan “Behind the great man there is a great woman” atau dalam pepatah Jepangnya “Naijo no Kou” (kontribusi besar istri pada keberhasilan suaminya).





                                                                                                                                             

artikel 7 (kerusuhan mojokerto dan politik machiavelli)

 KERUSUHAN MOJOKERTO 
DAN POLITIK MACHIAVELLI

oleh
PRANATAL HUTAJULU
KABAG OPS POLRES GRESIK

Aristotles dalam teori klasiknya pernah menjelaskan pengertian politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Politik adalah seni tentang kenegaraan yang dijabarkan dalam praktek di lapangan, sehingga dapat dijelaskan bagaimana Imbungan antar manusia (penduduk) yang tinggal di suatu tempat (wilayah) yang meski­pun memiliki perbedaan pendapat dan kepentingannya, tetap meng­akui adanya kepentingan bersama untuk mencapai cita-cita dan tuju­an nasionalnya. Penyelenggaraan kekuasaan negara dipercayakan kepada suatu badan/lembaga yaitu pemerintah. Secara etimologi asal mulanya berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis(arti = negara kota). Dari kata polis ini diturunkan kata2 lain seperti: polities (warga negara), politikos ( nama sifat ) yg berarti kewarganegaraan, politike episteme (ilmu politik).

Dalam perkembangannya kata politik mengalami bias dan menjadi sesuatu yang berkonotasi negatif, jahat dan kejam. Tidak ada yang mengetahui persis kapan pengertian politik menjadi bias tetapi beberapa ahli banyak yang berpendapat bahwa pengertian politik mulai menjadi bias ketika lahirnya pemikiran dari Nicollo Machiavelli (1469-1527), seorang filsuf dan politikus Italia. Dalam bukunya berjudul "Il prince"  dirinya mengemukakan bahwa  seorang penguasa atau calon penguasa dilegalkan melakukan segala cara untuk merebut dan mempertahankan otoritas walau itu dengan cara kekerasan,kejam dan melanggar hukum. Dirinyalah yang pertama memisahkan antara politik dan etika. Hal ini tentunya bertentangan dengan ajaran aristoteles yang berprinsip bahwa politik adalah perluasan dari implementasi etika dalam pelaksanaan pemerintahan.

Kasus rusuh Mojokerto adalah salah satu contoh sederhana bagaimana praktek dari pemikiran machiavelli di jaman modern ini. Seperti banyak diberitakan oleh media pada hari Jumat tanggal 21 mei 2010 di kantor Pemda dan DPRD Kab Mojokerto disaat acara penyampaian visi dan misi pasangan calon kepala daerah, telah terjadi kerusuhan yang diduga dilakukan oleh sekelompok massa pendukung salah satu pasangan calon yang tidak lolos ikut serta dalam pemilukada kab.mojokerto. Sebanyak 34 unit mobil yang diparkir di halaman gedung dibakar dengan bom molotov, 10 orang polisi terluka, beberapa orang dari pihak massa terluka dan 1 orang tertembak.

Banyak pihak yang mengaitkan kejadian ini merupakan buntut dari ketidakpuasan massa pendukung salah satu calon yang tidak lolos verifikasi peserta pemilukada karena pada hari-hari sebelumnya digelar demo menuntut pemilukada dibatalkan. Tanpa bermaksud mengesampingkan azaz 'presumption of inocence' pada proses penyidikan hukum yang sekarang ini sedang berjalan, menurut saya ada kemiripan motif dan pola pikir yang mendorong para pelaku dan 'mastermind'nya dengan cara berpikir politik ala machiavelli yaitu demi merebut kekuasaan dihalalkan segala cara termasuk dengan tindakan anarkis dan melanggar hukum.

Tentu hal ini sangat disayangkan banyak pihak dan saya yakin kita semua mengecam tindakan tersebut. Kasus Mojokerto telah menciderai demokrasi itu sendiri karena kebebasan berpendapat bukan berarti bebas melakukan apa saja demi mempertahankan atau mewujudkan keinginan. Banyaknya kasus kekerasan , anarkisme dan kerugian lain yang ditimbulkan oleh proses demokrasi menimbulkan banyak pertanyaan "apakah konsep demokrasi masih perlu dipertahankan di Indonesia?".   Seperti kita tahu bahwa konsep demokrasi diserap dari konsep western yang kultur masyarakatnya mempunyai kedewasaan berpolitik, sementara masyarakat Indonesia apakah punya kedewasaan politik yang sama?? . "Apakah orang Indonesia bisa mempraktekaan politik sebagai perluasan dari tindakan etis??".  Konsep kebebasan sebagai hakikat dasar dari demokrasi banyak yang diintrepertasikan oleh kita sebagai kebebasan untuk melakukan apa saja demi mencapai tujuan. Hal ini tentunya yang harus kita rubah bila kita masih ingin demokrasi dipertahankan hidupnya di Indonesia. Semoga Tuhan memberikan bimbingan dan hidayah bagi masyarakat Indonesia agar bisa berdemokrasi yang baik!  

artikel 6 (perpolisian masy wujud good governance)

Perpolisian Masyarakat Wujud Implementasi Good Governance
Oleh
Pranatal Hutajulu
(Kasat Lantas Polresta Malang)



Birokrasi timbul sebagai salah satu konsekuensi dari perkembangan peradaban manusia yang mulai mengenal tatanan kehidupan berorganisasi. Ketika berkembang organisasi modern seperti negara, partai politik, kelompok agama, kelompok ekonomi, kelompok kepentingan,dan lain-lain maka dimulailah proses birokrasi tersebut. Menurut Max Weber, birokrasi mensyaratkan dipunyainya kekuasaan, maka birokratisasi selalu diikuti dengan bertambah-luasnya kekuasaan para pejabat  Karena prasyarat tersebut, dalam perkembangannya birokrasi dirasa menjadi kurang efektif dan efisien karena masyarakat hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah. Masyarakat hanya mempunyai peranan yang kecil bahkan tidak ada dalam penentuan kebijakan publik. Akibatnya banyak kebijakan publik yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karl Marx, bahkan seratusan tahun sebelumnya telah mengemukakan pendapat ekstrim yang mengatakan bahwa birokrasi adalah alat dari kelas/kelompok masyarakat berkuasa untuk membelenggu kebebasan rakyat. Ketidakmampuan administrasi birokratik dalam menangani berbagai problema masyarakat mendasari H.George Fredericson (1980) merumuskan konsep good governance yang menjelaskan bahwa system adminstrasi negara modern dalam paradigma governance ditandai dengan adanya jaringan kerja (kemitraan) baik vertikal maupun horizontal diantara berbagai elemen masyarakat. Elemen masyarakat tersebut saling mengontrol (chek and balances), memiliki ekses yang kurang lebih sebanding, kemudian membangun suatu kolaborasi untuk terciptanya tertib sosial dalam mengatasi berbagai persoalan publik. Konsep good governance berhasil mengoptimalkan kinerja pemerintah karena adanya pembagian peran dengan masyarakat, elemen masyarakat itu sendiri ikut bekerja untuk menyelesaikan masalah publik. Berbagai negara maju mulai meninggalkan konsep administrasi birokratik dan mulai berpaling kepada penerapan good governance.
Polisi sebagai elemen aparatur pemerintahan yang banyak menangani berbagai persoalan publik dituntut pula untuk dapat melakukan sharing-position dengan masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya. Kemudian dirumuskanlah konsep community policing oleh Robert R Friedmann (1998). Menurut Friedman sebuah kebijaksanaan dan strategi yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang lebih efektif dan efisien dalam mengendalikan kejahatan, mengurangi rasa takut atas ancaman kejahatan (fear of crime), memperbaiki kualitas kesejahteraan hidup, meningkatkan perbaikan pelayanan polisi dan legitimasi melalui kemandirian proaktif berlandaskan pada sumber daya komunitas masyarakat yang mencari upaya untuk merubah kondisi-kondisi yang menyebabkan adanya kejahatan. Community policing mengakui adanya sebuah kebutuhan untuk akuntabilitas dari polisi, peran serta yang lebih besar dari publik dalam pengambilan keputusan dan kepedulian yang lebih besar terhadap hak-hak sipil dan kebebasan.
Keberhasilan konsep community policing yang diterapkan berbagai Departemen Kepolisian Negara Bagian Amerika Serikat dan Kepolisian Nasional Jepang mendorong Kepolisian Republik Indonesia untuk mengadopsi konsep tersebut yang disesuaikan dengan situasi-kondisi masyarakat dan budaya di negeri ini. Proses adopsi tersebut menghasilkan perumusan model perpolisian masyarakat (polmas) dalam penyelenggaraan tugas Polri. Polmas merupakan model perpolisian yang menekankan adanya kemitraan yang sejajar antara petugas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang dapat mengancam kamtibmas. Tujuannya adalah mengurangi kejahatan serta meningkatkan kualitas hidup warga setempat. Petugas polmas adalah anggota Polri yang berpangkat Bintara atau Perwira yang disiapkan secara khusus dan ditugaskan di tiap kelurahan/desa atau suatu kawasan tertentu untuk menyelenggarakan perpolisian masyarakat, membangun komunitas yang dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam meniadakan gangguan keamanan dan ketertiban, menciptakan ketentraman, serta mendukung terwujudnya kualitas hidup masyarakat.
Pengalaman penulis bertugas di daerah konflik, Poso Sulawesi Tengah, memberikan pelajaran penting bahwa konsep pendekatan dengan membangun kesetaraan posisi antara polisi dan masyarakat sangat membantu memulihkan trauma masyarakat akibat konflik berkepanjangan. Pasca tertangkapnya berbagai aktor utama dalam berbagai aksi teror di Poso dan Palu, Februari 2007, Polri langsung mengubah manuver kebijakan dari operasi penegakan hukum menjadi operasi pemulihan kondisi masyarakat yang salah satunya ditempuh melalui pemberdayaan petugas polmas sebagai garda terdepan penanganan berbagai masalah yang timbul pasca konflik. Petugas polmas ditempatkan di setiap desa di wilayah Kabupaten Poso, tinggal dan beraktivitas melekat di wilayah desa tersebut. Ikut membangun rumah warga yang hancur terbakar akibat konflik, memfasilitasi rekonsiliasi antara masyarakat muslim dan kristen yang selama bertahun tahun bertikai, mendengar berbagi keluh kesah masyarakat dan berusaha mencari solusinya. Hasilnya cukup signifikan, kepercayaan masyarakat akan rasa aman mulai tumbuh, aktivitas ekonomi mulai menggeliat, orang dapat melaksanakan ibadah tanpa dihantui rasa takut. Konsep polmas selain terbukti bisa diterapkan di daerah konflik, efektif pula dalam memangkas birokrasi pelayanan publik oleh Polri. Beberapa inovasi seperti pelayanan SIM dengan mobil Keliling, Pelayanan SIM Corner di Tunjungan Plaza Surabaya,  SAMSAT Drive thrue (membayar pajak dari tanpa turun dari kendaraan) dan yang sedang dalam persiapan adalah SAMSAT Corner (pelayanan pajak kendaraan bermotor di Mal Olympic Garden, Malang) sejatinya terinspirasi dari konsep ini. Pada masa lalu dimana pelayanan publik yang identik dengan proses yang lama, antrian yang panjang, tempat yang jauh dari nyaman, mencerminkan institusi Polri sebagai pemilik absolut otoritas dan masyarakat sebagai pihak membutuhkan. Seiring niat ingin membangun kesetaraan posisi dalam rangka mengimplementasikan konsep community policing maka dilakukan perbaikan serta  peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan publik. Tahap proses disederhanakan, kenyamanan ditingkatkan, jarak unit pelayanan didekatkan.



artikel 6 (pemilukada dan kerusuhan massa)


PEMILUKADA DAN KERUSUHAN MASSA
Oleh
Pranatal Hutajulu
Kabag Ops Polres Gresik


Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) sejatinya mempunyai maksud dan tujuan yang mulia yaitu rakyat dapat memilih kepala daerahnya secara langsung, transparan dan bebas berdasarkan konsep demokrasi dan koridor hukum yang berlaku sehingga dapat diperoleh pasangan kepala daerah yang capable, credible dan acceptable sesuai aspirasi masyarakat lokal. Pemilukada langsung merupakan salah satu penemuan baru dalam proses pencarian identitas model demokrasi yang ideal bagi rakyat Indonesia yang sebelumnya menjalani demokrasi terpimpin ala orde lama, demokrasi semu ala orde baru dan demokrasi ‘jual beli sapi’ ala pemilihan oleh parlemen. UU no 32 tahun 2004 merupakan ‘pistol start’ dan dasar legalitas bagi dilaksanakannya pemilukada langsung ini. Awalnya konsep pemilukada langsung ini terlihat begitu cantik dan ideal namun seiring dilaksanakan  di berbagai daerah ternyata konsep ini mulai memperlihatkan wajah buruknya. Menurut  data departemen dalam negeri, penggunaan anggaran pemilukada pada tahun 2010 menyedot dana Rp.3,5 Triliun. Jika seluruh daerah menggelar pemilukada diperkirakan dana APBD yang tersedot mencapai sekitar Rp.6 Triliun. Itu belum termasuk dana yang dikeluarkan oleh masing-masing kandidat.  Beberapa kenyamanan di area public menjadi terganggu seperti terjadinya kemacetan dan kesemrawutan lalu-lintas akibat kampanye, kecelakaan lalu-lintas ketika dilaksanakannya konvoi massa pendukung calon kepala daerah. Sedangkan dampak yang paling besar yaitu terjadinya kerusuhan massa yang mengakibatkan korban jiwa dan materi. Tercatat berbagai kerusuhan massa terjadi dalam pemilukada mulai dari kerusuhan pada pemilukada Sibolga yang terjadi pada hari jumat tanggal 14 mei 2010 yang mengakibatkan rusaknya tiga kantor kecamatan,  kerusuhan massa dalam pemilukada kabupaten Mojokerto yang terjadi pada hari Jumat tanggal 21 Mei 2010 di kantor DPRD Kabupaten Mojokerto. Sebanyak 34 mobil dibakar, 10 polisi terluka dan 1 perusuh tertembak,  dan yang terakhir adalah  tertundanya pemilukada kabupaten Toli-toli,Sulawesi Tengah akibat dibakarnya logistik surat suara pada 7 kecamatan oleh sekelompok massa pendukung calon kepala daerah. Dan seperti biasanya bila terjadi suatu peristiwa gangguan keamanan maka yang paling mudah dilakukan adalah mencari “si kambing hitam” bernama polisi dengan alasan pembiaran, kecolongan atau tidak tanggap.
Kenapa pemilukada bisa rusuh?        
Ada tiga kajian yang bisa menjelaskan kenapa pemilukada kita bisa rusuh. Adapun penjelasan dari ketiga kajian tersebut adalah sebagai berikut:
1.      kajian aspek politik ; menghalalkan segala cara.
Nicollo Machiavelli (1469-1527) seorang filsuf dan politikus Italia, pernah menulis buku berjudul Il principe (sang pangeran) yang menguraikan tindakan yang bisa atau perlu dilakukan individu atau kelompok untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Dirinya mengatakan bahwa dalam rangka mendapatkan kekuasaan atau mempertahankannya seseorang dibenarkan melakukan segala  cara sekalipun yang ditempuh melalui cara kekerasan, sadis dan melanggar hukum. Machiavelli adalah yang pertama kali memisahkan teori politik dan etika.  Masalah politik adalah murni masalah merebut dan mempertahankan kekuasaan dan tidak bisa dipengaruhi oleh tindakan etis atau hal lain yang bersifat moral. Pemikiran Machiavelli ini sangat bertentangan dengan tradisi barat yang mempelajari teori politik sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Beberapa kasus kerusuhan dalam pemilukada di Indonesia merupakan contoh konkrit bagaimana paham Machiavelli dilaksanakan di jaman modern ini. Para elit politik atau mereka yang terlibat dalam akses politik formal dalam gelanggang pemilukada akan melakukan segala cara untuk bisa mendapatkan kekuasaan atau mempertahankannya. Kultur dan budaya luhur masyarakat Indonesia yang tepa selira dan selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat dikesampingkan.  Nilai moral dan agama yang mengajarkan untuk menghargai perbedaan dan mengasihi sesama saudaranya dibuang jauh-jauh. Semua itu dilakukan dengan tujuan satu yaitu mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.     
2.      Kajian Aspek Sosiologis;  teori mobilisasi ( the resources mobilization theory).
Menurut teori ini kerusuhan adalah sebuah alat politik. Ia dengan mudah dapat digunakan oleh kelompok tertentu dalam rangka sebuah kepentingan politik. Teori ini beranggapan bahwa kerusuhan itu diciptakan dan secara sengaja dimobilisasi . Kekerasan yang lahir dalam kerusuhan adalah bagian dari skenario untuk menghasilkan efek politik tertentu. Dengan topeng manis bernama demokrasi dan kebebasan berpendapat mereka memaksakan kehendak dengan memobilisasi massa untuk melakukan tindakan destruktif pada lawan politiknya mulai dari menyebar teror, intimidasi sampai pada kerusuhan dengan tujuan menghasilkan efek politik tertentu seperti pembatalan pemilukada, penghitungan ulang atau tawar menawar pembagian kekuasaan (sharing of power)
3.      Kajian aspek manajemen keamanan ; minimnya dukungan dana .
Untuk kajian ketiga ini tidak terjadi di semua tempat, sifatnya kasuistis seperti yang terjadi di Pemilukada Gresik.  APBD Kabupaten menggelontorkan dana sebesar Rp. 25,6 miliar rupiah untuk pemilukada dan hanya menyisihkan sekitar 0,03% saja ( Rp.800 juta rupiah) anggaran pihak kepolisian untuk mengamankan jalannya pemilukada. Ini menjadikan penganggaran keamanan pemilukada gresik sebagai salah satu anggaran keamanan terkecil di wilayah Jawa Timur.  Dana tersebut harus dipaksakan cukup untuk membiayai hampir 1000 personil polisi dan ratusan unit kendaraan bermotor polisi yang melaksanakan pengamanan selama kurang lebih 60 hari.  Celakanya dukungan tersebut baru turun setelah beberapa hari kampanye pemilukada berjalan.   Berbagai kasus pemilukada membuktikan kepada kita bahwa masalah keamanan adalah hal yang sangat penting dan absolut demi menjaga keutuhan jalannya pemilukada tetapi perhatian pemerintah daerah gresik sangat kontradiktif dengan nilai empiris tadi.



Perlukah pemilukada langsung dipertahankan?
Berbagai peristiwa yang terjadi terkait pemilukada ini memaksakan kita untuk mengkaji apakah layak konsep pemilukada langsung ini dipertahankan dalam alam demokrasi kita? Berbagai wacana tentang penghapusan pemilukada inipun banyak bergulir. Salah satunya datang dari Ketua PB Nadhlatul Ulama Hasyim Muzadi yang mengusulkan agar proses pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) secara langsung dihapuskan saja. Sistem pemilukada langsung ini justru menyuburkan pragmatisme di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Menurut Hasyim, pragmatisme akan menghancurkan tata nilai serta keluhuran lokal dan pribadi masyarakat. Ini akan mengakibatkan minimnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta pemimpin dengan sikap cash and carry. Artinya, ketika ditagih janjinya, tidak bertanggung jawab karena merasa sudah membeli suara rakyat.  Sementara wacana yang bersifat “jalan tengah” datang dari Mendagri Gamawan Fauzi yang mengusulkan dalam rangka penghematan anggaran maka yang dilaksanakan pemilukada langsung hanya pada pemilihan bupati/walikota saja. Pemilukada gubernur dihapus dan gubernur cukup dipilih langsung oleh Presiden. Hal tersebut sudah ditindaklanjuti dengan membawa wacana ini dalam pembahasan revisi UU no 32 tahun 2004. Terlepas dari berbagai wacana tersebut menurut pendapat saya tidak ada yang salah dengan sistem pemilukada langsung. Yang salah adalah personal atau individu yang menjalankan system. Ibarat pisau bila dipergunakan oleh orang jahat maka ia bisa melukai bahkan membunuh, sebaliknya bila digunakan oleh juru masak maka ia bisa membantu proses pembuatan masakan yang lezat dan bisa menyejahterakan orang yang memakannya.  Sekarang  para elit politik selaku kumpulan individu yang menjalankan system mampukah menjalankan system ini dengan baik? Mampukah bersikap dewasa dalam berpolitik? Mampukah menggunakan pemilukada sebagai alat untuk menyejahterakan rakyat? bila tidak maka lebih baik bubarkan saja system ini. Untuk apa penggunaan dana triliunan rupiah tetapi hasilnya adalah kita saling meneror, kita saling menyerang, kita saling menyakiti, yang bisa menimbulkan disintegrasi bangsa? Semoga Tuhan memberikan petunjuk pada bangsa ini untuk menemukan konsep ideal dalam berdemokrasi.Amien.