Rabu, 27 Juli 2011

artikel 9 (pengamanan swakarsa ala masyarakat jepang)


   PENGAMANAN SWAKARSA ALA MASYARAKAT JEPANG
Oleh :
Pranatal Hutajulu,SH.SIK
                                                          Kabag Ops Polres Gresik.           

             Jepang sering disebutkan banyak pihak sebagai salah satu negara teraman didunia.   Pada tahun 2009 menurut survey yang dilakukan oleh Global Peace index Ranking menyatakan  kalau Jepang menjadi negara teraman ke-7 dari 140 negara di dunia.  Hal tersebut bisa kita lihat dari artikel pada alamat web berikut ini www.visionofhumanity.org/gpi/results/rankings/2009/. Bahkan tahun 2008 Jepang menduduki peringkat ke 5 teraman di dunia. Rangkaian data tersebut tidak serta merta membuat saya percaya bahwa Jepang itu aman. Sampai pada bulan  November lalu saya dan 23 perwira POLRI berkesempatan untuk mengikuti pelatihan di negeri sakura tersebut dan saya beranggapan inilah waktu yang tepat untuk membuktikan hal tersebut. Ketika kami sampai di kota Tokyo  dan melihat sendiri bagaimana situasi disana maka kesangsian itu menjadi sirna. Kami sering melihat bagaimana seorang yang tertidur di atas subway (kereta listrik bawah tanah) dengan masih posisi memangku laptop atau memegang telepon genggam tetapi tidak ada satupun orang yang berusaha mencuri laptop atau mengambil telepon gengam tersebut. Ataupun ada seorang mabuk yang terjatuh dan tak sadarkan diri dilorong stasiun dengan dompet di kantung belakang muncul dan memperlihatkan isi beberapa uang kertas didalamnya tetapi tidak ada satupun yang mau menyentuh dompet tersebut. Fenomena lain yang bisa menjelaskan bahwa Tokyo adalah kota aman bisa kita lihat dari banyaknya wanita yang tidak takut berjalan sendirian di jalan pertokoan di malam hari yang gelap atau stasiun yang sepi dengan model baju yang cukup minim bagi ukuran orang Indonesia dan memakai perhiasan seperti emas atau berlian. Kaum wanita disana tidak takut menjadi korban perampokan atau perkosaaan. Lalu setelah melihat fenomena tadi ada sebuah pertanyaan di benak saya bahwa Jepang aman apakah karena polisinya hebat? Jawabannya adalah tidak sepenuhnya benar. Polisi Jepang memang salah satu organisasi kepolisian paling ideal di dunia. Jumlah personil menurut data dari badan kepolisian nasional Jepang tahun 2008 adalah sebesar 252.888 personil. Rasio polisi Jepang sudah mendekati standard rasio yang ditetapkan PBB yaitu sekitar 1: 490 (ratio PBB 1: 400) bandingkan dengan rasio polisi Indonesia sekitar 1 : 1500.  Di seluruh negeri tersebar 6191 koban (pos polisi perkotaan) dan 7020 chuzaisho (pos polisi pedesaan). Gaji personilnya bisa memenuhi kesejahteraan ,untuk bintara polisi berkisar antara 200.000 yen sampai 600.000 yen dengan kurs 1 yen = 110 rupiah maka margin gaji polisi bintara Jepang adalah antara 20 juta sampai 60 juta rupiah. Sarana dan prasarananya sangat lengkap dan canggih tetapi bila kita lihat angka penyelesaian kasusnya menurut saya tidak menunjukkan prestasi yang istimewa. Pada tahun 2008 prosentase penyelesaian kasus yang berhasil dilakukan kepolisian Jepang  adalah 31,5% bahkan pada tahun 2001 ketika Jepang mengalami resesi, prosentase penyelesaian kasusnya adalah 19,8% (sumber data Divisi Perencanaan Keamanan Masyarakat, Badan Kepolisian Nasional Jepang). Pada beberapa kasus Kepolisian Jepang mengalami kesulitan untuk menangani kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok boryokudan atau dikenal juga dengan nama Yakuza. Sampai oktober 2008 terdapat 22 kelompok boryokudan di seluruh Jepang dengan jumlah anggotanya mencapai kurang lebih 84200 yang terdiri dari 40900 anggota tetap dan 43300 anggota rekanan. Lalu apa penjelasan yang bisa menjawab apa rahasia Jepang bisa aman?
TINGGINYA KEPEDULIAN MASYARAKAT
 Pada kesempatan lain ketika kami sedang berlatih dan mengikuti polisi jepang berpangkat assistant inspector (ajun inspektur di Indonesia) yang bernama ishizaki yang sedang mengamankan suatu kegiatan festival masyarakat, kami dikejutkan oleh seseorang berumur sekitar 40 tahun yang mendekati polisi dan mengembalikan sebuah telepon genggam yang ia temukan di salah satu sudut lapangan tempat festival berlangsung. Setelah itu Ishizaki mencatat data identitas si penemu dan menghubungi panitia penyelenggara untuk diumumkan kepada pengunjung. Bentuk lain kesadaran warga Jepang untuk berpartisipasi dalam mengamankan wilayah dapat kita liat dari banyaknya Jishu Bohaan Volunteer (kelompok sukarelawan pencegahan kejahatan) atau FKPM (forum komunikasi polisi dan masyarakat) di Indonesia. Di seluruh negeri terdapat 40.538 kelompok jishu bohaan dengan jumlah anggota sekitar 2.501.000 sukarelawan. Kota Mito di prefektur (provinsi) Ibaraki, salah satu kota dimana saya ditempatkan untuk berlatih, mempunyai total 33  kelompok Jishu Bohaan dengan jumlah anggota sebesar 2600 personil yang berasal dari berbagai profesi mulai dari pengusaha,pegawai negeri,guru,pedagang, dan pensiunan. Perwakilan dari mereka setiap sebulan sekali berkumpul di Police Station (setingkat polres) Kota Mito untuk saling bertukar informasi berkaitan tentang kamtibmas. Diawali dengan pemberian informasi oleh pihak kepolisian tentang analisa dan evaluasi gangguan kamtibmas kepada para anggota untuk diteruskan kepada warga lain dan selanjutnya feedback dari para anggota yang berisikan saran dan masukan untuk polisi dalam pelaksanaan tugasnya. Kegiatan mereka banyak melakukan sosisalisasi kepada warga di lingkungannya tentang bahaya kejahatan, menempel pamflet atau selebaran tentang peringatan kepada warga didaerah yang rawan kejahatan. Mereka juga melaksanakan patroli dengan menggunakan mobil swadaya yang terpasang rotator biru. Mobil tersebut berasal dari salah satu anggota yang mampu dan merelakan mobilnya untuk menjadi sarana transportasi untuk pelaksanaan patroli. Di Negara Jepang menurut undang-undang dibenarkan untuk mobil patroli sipil masyarakat ini melaksanakan patroli dan menggunakan rotator berwarna biru. Dalam pelaksanaan patroli bila menemukan suatu aksi kejahatan mereka bertugas untuk segera melaporkan ke kantor polisi terdekat lewat pesawat radio atau telepon selular sambil mengamati dan mencatat ciri-ciri pelaku. Mereka tidak dibenarkan untuk menangkap tersangka. Pembiayaan kegiatan mereka berasal dari iuran tiap anggota secara sukarela dan sebagian kecil dibantu oleh pemerintah daerah, sebagian dana tersebut dipakai untuk asuransi bagi keselamatan jiwa mereka ketika bertugas. Selain itu di salah satu sub-wilayah kota Mito (setingkat kelurahan) yaitu Akatsuka   yang mempunyai kelompok pencegahan kejahatan yang bernama Akatsuka Jishu Bohaan Volunteer yang beranggotakan 54 anggota dan kebanyakan berasal dari orang-orang pensiunan atau dari warga yang membuka usaha sendiri sehingga tidak terikat jam kantor. Mereka setiap harinya secara sukarela melakukan kegiataan bernama school guard dengan aktivitas utama pengawalan terhadap anak TK dan SD yang pulang dengan berjalan kaki. Di Jepang mempunyai kebiasaan seorang anak TK atau SD tidak dijemput kalau pulang sekolah. Mereka diajarkan mandiri untuk pulang sendiri berjalan kaki dalam bentuk kelompok sesuai wilayah rumahnya tetapi dalam perkembangannya anak-anak ini sering menjadi sasaran pelaku kejahatan. Maka beberapa tokoh masyarakat wilayah akatsuka sepakat membentuk kelompok sukarelawan ini untuk mengantar dan menjemput mereka. Masih berkaitan dengan perlindungan terhadap anak yang pulang sekolah, beberapa warga juga bersedia menjadikan rumahnya menjadi  rumah aman bagi anak-anak yang merasa dibuntuti atau menjadi percobaan kejahatan. Rumah tersebut bertempelkan stiker besar di pagarnya bergambar seorang anak kecil dan bertuliskan kodomo 110/ haykou tou ban no ie yang artinya rumah penyelamatan anak/ panggilan darurat 110. Pemilik rumah mempunyai tugas untuk mengamankan anak yang datang ke rumah tersebut akibat merasa diikuti seseorang dan melaporkan peristiwa tersebut ke kantor polisi terdekat. Pada kesempatan pelatihan kami menanyakan kepada ketua asosiasi pencegahan kejahatan akatsuka yaitu Ishikawa tentang alasan kenapa mereka sangat bersemangat untuk melakukan berbagai hal yang telah saya jelaskan diatas. Padahal mereka sama sekali tidak dibayar bahkan mereka harus membayar iuran anggota? Jawaban Ishikawa bahwa ini dilakukan karena kami menyadari akan pentingnya rasa aman sebagai penunjang kehidupan mereka. Kejahatan atau gangguan keamanan itu lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat sehingga masyarakat itu sendiri yang bisa menentukan apakah gangguan itu bisa menjadi besar atau bisa ditekan. Lalu tentunya anda akan bertanya kembali dimana posisi dan peranan polisi dalam hal ini?  Menurut analisa saya setelah mengikuti pelatihan, posisi dan fungsi polisi di jepang adalah cenderung sebagai mitra dan fasilitator bagi terwujudnya rasa aman di lingkungan warga. Polisi bukanlah pihak yang paling tahu tentang bagaimana mewujudkan keamanan. Polisi hanyalah pendamping bagi jalannya proses masyarakat membangun system keamanan bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Masyarakat Jepang menyadari penuh bahwa menjadi polisi bagi diri sendiri adalah sikap yang sangat mendukung bagi pencegahan berkembangnya kejahatan. Dan kita bisa mendapat jawaban kenapa Negara Jepang bisa menjadi salah satu Negara teraman di dunia. Pantas saja bang napi sering berkata “ingat kejahatan terjadi bukan hanya karna ada niat pelakunya tetapi juga disebakan karena adanya kesempatan. Untuk itu waspadalah, waspadalah!”.
(TULISAN INI PERNAH DIMUAT DI RUBRIK METROPOLIS HARIAN JAWAPOS)
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar